Pengembangan Anggrek Serat Identitas Sulawesi Tenggara, Peneliti Mulai Uji Laboratorium

Anggrek serat dengan nama latin Dendrobium utile merupakan jenis flora yang jadi identitas Sulawesi Tenggara (Sultra) sesuai Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 48 Tahun 1989 tentang Pedoman Penetapan Identitas Flora dan Fauna Daerah.

Pada tahun 1997 Pemerintah Republik Indonesia (RI) menerbitkan perangko bergambar dengan tulisan “Anggrek Serat, Sulawesi Tenggara” senilai Rp300. Bunga anggrek jenis ini dalam masyarakat lokal suku Tolaki disebut “sorume”.

(Baca: Mengenal Anggrek Serat Tanaman Endemik Sulawesi yang Terancam Punah)

Anggrek jenis ini memiliki nilai khusus pada masyarakat Tolaki karena dijadikan bahan baku pembuatan anyaman peralatan adat. Namun untuk pengembangannya belum ada, masyarakat masih mengandalkan hasil dari alam.

Dr. Sitti Aida Adha Taridala menunjukkan anggrek serat yang berhasil ditanamnya dalam sebuah pot. 

Tim peneliti dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Halu Oleo (UHO) dengan dukungan Pemerintah Kolaka Timur (Koltim) telah melakukan penelitian tahap awal berjudul “Pengembangan Budi Daya Tanaman Sorume di Kabupaten Kolaka Timur”. Dalam hasil penelitian yang dilakukan pada November hingga Desember 2021 ini didapatkan data-data yang berguna untuk pengembangan anggrek serat.

Dari penelitian itu ditemukan kondisi lingkungan tempat pertumbuhan anggrek serat adalah di Pegunungan Hopulo.  Secara rata-rata, kisaran ketinggian tempat ditemukannya sorume adalah 1.300-1.520 meter di atas permukaan laut (MDPL) dengan suhu 20,8°C dan kelembaban udara 56,2 persen, serta intensitas cahaya dalam kondisi terbuka sampai setengah ternaung. 

Dari penelitian dengan metode eksploratif itu juga ditemukan bahwa ternyata sorume dapat tumbuh di luar habitat aslinya, antara lain di Kelurahan Woitombo, Kolaka Timur; di Kota Kendari; di Kecamatan Landono, Kabupaten Konawe selatan; dan di Unaaha, Kabupaten Konawe. 

Ketua Tim Peneliti Dr. Sitti Aida Adha Taridala mengatakan fakta bahwa sorume dapat tumbuh di luar habitatnya memberikan indikasi bahwa ada peluang untuk pengembangan sorume secara luas di kalangan masyarakat.  Metodenya adalah budidaya dengan menanam sorume dalam pot dengan media sabut kelapa dan arang, atau dilekatkan pada pohon yang masih hidup. Hanya saja metode ini tergolong lebih lambat dibanding pada habitat aslinya.

“Ini tidak akan berkembang kalau masyarakat kita Sulawesi Tenggara tidak menanam. Kalau hanya diambil terus dari hutan itu bisa habis, dan juga kalau pencari anggrek sudah tidak mampu naik ambil, siapa yang akan pergi mengambil jauh begitu di gunung, kan tidak ada. Di atas juga kalau hutan di rambah terus itu bisa habis,” ujar Sitti di kediamannya, Kendari, 17 April 2022.

Oleh karena itu, dalam hasil penelitiannya Sitti bersama tim merekomendasikan perlunya penerapan strategi konservasi oleh Pemda Kolaka Timur.  Hal ini bertujuan, di samping untuk menjaga kelestarian sorume di habitat aslinya, juga dapat dikembangkan menjadi alternatif tujuan wisata edukasi, dengan memperhatikan kaidah-kaidah kelestarian alam yang ketat.

Sementara metode budi daya secara generatif (dari biji), belum dilakukan karena belum adanya buah dari sorume yang siap panen. Metode budi daya dengan memanfaatkan bioteknologi terkini dengan kultur jaringan telah mereka lakukan namun perlu diulang lagi, karena diduga terjadi kontaminasi.

Percobaan kultur jaringan anggrek serat. (Foto: Penelitian LPPM UHO)

Dalam melakukan kultur jaringan ini, Tim Peneliti melakukannya di Laboratorium Agroteknologi Unit In Vitro UHO. Bagian tanaman yang diambil untuk percobaan adalah bagian daunnya yang muda, sedangkan batangnya tidak bisa karena keras dan tidak berbuku-buku. 

Percobaan kultur jaringan itu sudah dua kali dilakukan tapi belum berhasil. Menurut Sitti kegagalan ini adalah hal yang wajar karena butuh beberapa kali lagi percobaan. Oleh karena itu meski penelitiannya sudah berakhir, ia masih akan melakukan percobaan.

Selain kultur jaringan lewat daun, cara lain yang juga bisa dilakukan adalah kultur biji in vitro. Namun hal ini belum bisa dilakukan karena dari sampel anggrek yang dibudidayakan belum ada yang menghasilkan biji. Sitti sudah mendapatkan biji anggrek serat dari hutan lokasi penelitian tapi karena lamanya di perjalanan maka tidak memenuhi syarat lagi untuk dilakukan kultur biji in vitro.

Bagaimana Cara Budi Daya Anggrek?

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Destario Metusala menjelaskan untuk kultur jaringan (tissue culture) dengan daun tampaknya kurang efisien untuk tujuan perbanyakan anggrek serat mengingat prosesnya yang lebih rumit dibandingkan kultur biji secara in-vitro. Kultur jaringan dengan daun juga membutuhkan waktu yang lebih lama daripada kultur biji.

Menurut dia, teknologi kultur jaringan daun sebaiknya digunakan untuk memperbanyak individu dengan karakter genetik unggul hasil dari tahapan seleksi populasi yang ketat. Hal tersebut dikarenakan kultur jaringan daun memiliki kelebihan untuk menghasilkan bibit-bibit dalam jumlah banyak dengan karakter genetik yang identik seperti individu sumber sampel/eksplan daun (induk).

“Apabila belum pernah dilakukan studi terkait seleksi individu anggrek serat dengan genetik unggul, maka mungkin lebih efisien dengan kultur biji secara in-vitro supaya dapat diperoleh variasi genetik yang lebih beragam. Kultur biji juga lebih sederhana dan laju pertumbuhannya di lab cenderung lebih cepat,” ujar Destario, 20 April 2022. 

Lebih lanjut kata dia, untuk perbanyakan anggrek dengan pecah rumpun seperti yang dilakukan warga Ameroro juga bisa saja. Namun cara ini relatif lebih lama dan hanya bisa dipecah jadi beberapa rumpun baru saja. 

Destario mengaku tertarik bisa mendapatkan rumpun anggrek serat untuk dibungakan lalu diserbuki agar jadi buah. Kemudian, buah akan mereka tabur di media kultur in-vitor di Laboratorium. Dengan cara ini sudah banyak yang berhasil pada anggrek jenis lain.

Hal lain yang juga penting dalam budi daya anggrek adalah lingkungan di mana anggrek bertumbuh. Apalagi bila habitat anggrek serat pada ketinggian 1.300-1.520 MDPL maka ketika berada di dataran rendah (200 MDPL ke bawah) akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhannya. 

“Perbedaan ketinggian lokasi itu bisa berpengaruh sekali ke pertumbuhan anggrek. Anggrek dari dataran tinggi cenderung akan stres saat ditanam di dataran rendah sehingga pertumbuhan juga tidak secepat/sebagus kalau ditanam di dataran tinggi.  Mungkin tetap bisa hidup dan tumbuh, hanya saja tidak seoptimal kalau di dataran tinggi,” ucap Destario.

Solusinya agar bisa optimal di dataran rendah maka harus dibuat rumah kaca dengan humidifier (alat pelembab udara) dan pengatur suhu. Hal ini supaya suhu dan kelembaban bisa persis sama dengan dataran tinggi sehingga anggrek seolah berada di habitat aslinya. 

(Baca: Lintas Generasi Pengrajin di Konawe, Hasilkan Anyaman Tolaki Bernilai Tinggi dari Anggrek Serat)

Pemda Kolaka Timur Target Kembangkan Sorume

Pemerintah Daerah (Pemda) Kolaka Timur (Koltim) memasang target untuk mengembangkan sorume sebagai ikon daerah. Hal ini dalam rangka implementasi visi misi Pemda Koltim 2021-2026 yakni pada poin misi pertama adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia berbasis ajaran agama, ilmu pengetahuan dan teknologi serta budaya lokal.

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Penelitian dan Pengembangan Kabupaten Koltim Mustakim Darwis menjelaskan budaya lokal yang dimaksud dalam misi tersebut salah satunya adalah tentang sorume. Sehingga, pengembangan sorume sudah masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) sesuai dengan visi misi kabupaten.

(Baca: Kisah Pemburu Tanaman Para Dewa di Puncak Mowewe Kolaka Timur)

Pemda Koltim  menganggap sorume sangat penting karena tanaman ini tergolong endemik dan hanya tumbuh di Koltim serta menjadi kebanggaan. Apalagi, Koltim memiliki julukan “wonua sorume” yang artinya negeri anggrek serat dan dalam lambang Pemda Koltim terdapat kembang anggrek serat. Selain itu, sorume juga jadi bahan baku pembuatan kerajinan tradisional. 

Oleh karena itu, dalam penyusunan RPJMD 2021-2026, pasangan bupati Samsul Bahri Madjid dan Andi Merya Nur  ingin menonjolkan sorume sebagai ciri khas Koltim. Dalam perjalanan pemerintahan, Koltim kini dipimpin Penjabat Bupati Sulwan Aboenawas tetap sepakat bahwa sorume adalah tanaman khas Koltim yang harus dilestarikan. 

Sebagai tindak lanjut implementasi visi misi pemda, maka Bappeda bekerja sama dengan LPPM UHO pada tahun 2021 lalu dengan ketua tim peneliti adalah Dr. Sitti Aida Adha Taridala. Hasil penelitian itu sudah dicetak dalam bentuk buku.

“Buku itu kita bagikan ke kecamatan-kecamatan. Harapan kita melalui ketua tim penggerak PKK (pembinaan kesejahteraan keluarga) dan ibu-ibu camat mengembangkan itu di setiap kecamatan,” ujar Mustakim di kantornya, 11 Mei 2022.

Anggrek serat/Dendrobium utile.

Saat ini, pengembangan sorume itu masih tahap awal berupa pengenalan ke stakeholder terkait dan masyarakat. Ke depan, yang diharapkan adalah dapat dilakukan budi daya, menjadi kerajinan yang laku di pasaran, dan sorume dapat dikenal luas sebagai ikon daerah Koltim.

Salah satu dinas terkait yang merespon hasil penelitian tersebut adalah Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Koltim Edy Majid melalui Kabid Destinasi Rismanto mengatakan sumber daya manusia (SDM) penting dalam pengembangan sorume. Selama ini, meski Koltim jadi sumber bahan baku sorume tapi pengrajinnya tidak ada.

“Kita siapkan saja dulu pengrajinnya karena ekonomi kreatifnya yang mau kita kembangkan supaya jadi salah satu ciri khas daerah. Apalagi ini sangat berpotensi dengan mahalnya hasil anyaman dari sorume. Kita biasa beli di Konawe itu harganya jutaan rupiah,” ujar Rismanto di kantornya, 11 Mei 2022.

Terkait destinasi wisata, belum ada yang secara khusus menyediakan tanaman anggrek serat. Saat ini bagi yang ingin melihat anggrek serat harus pergi ke puncak Mowewe sebagai tempat tumbuh alamiahnya. 

Dia berharap sorume atau anggrek serat ini dapat dibudidayakan secara luas sehingga siapa saja yang datang ke Koltim bisa melihat langsung. Sebab aneh bila sorume pupuler tapi hanya sebatas wacana. (*)

Penulis: Muhamad Taslim Dalma

(Baca juga: Cerita Tentang Sorume pada Suku Tolaki, Digunakan sebagai Pengikat Istana Raja)


Cerita Tentang Sorume pada Suku Tolaki, Digunakan sebagai Pengikat Istana Raja

Anyaman yang terbuat dari anggrek serat atau sorume tampak rapi dan mengkilap. Warna kuning emasnya secara alami dari batang anggrek serat sedangkan warna merah dan hijaunya dari bahan pewarna kimia..

Masyarakat suku Tolaki di Sulawesi Tenggara (Sultra) memiliki kekayaan budaya yang khas, salah satunya adalah sorume. Sorume merupakan jenis tanaman anggrek yang berserat sangat kuat sehingga banyak dimanfaatkan.

Sorume atau anggrek serat menjadi bahan baku anyaman oleh pengrajin pada masyarakat Tolaki. Mereka menghasilkan anyaman untuk acara-acara adat Tolaki seperti tikar adat, kopiah, dan alas kalosara (anyaman berbentuk persegi). 

(Baca: Lintas Generasi Pengrajin di Konawe, Hasilkan Anyaman Tolaki Bernilai Tinggi dari Anggrek Serat)

Dahulu ternyata sorume tidak hanya digunakan untuk anyaman, sorume memiliki kedudukan yang khusus pada masyarakat Tolaki. Bahkan, kayu-kayu penyusun bagian atas rumah istana raja menggunakan ikatan dari sorume. Makanya ada istilah “Laika Sorume” yang artinya rumah yang diikat dengan anggrek serat.

Kepala Adat Tolaki di Konawe, Ajemain menjelaskan ada sistem pembuatan zaman lampau yang membuat anggrek serat dapat digunakan sebagai tali yang mengikat beberapa bagian rumah.  Namun saat ini tidak ada lagi rumah yang menggunakan ikatan anggrek serat, tinggal penggunaan nama saja, misalnya di Konawe kini ada SD Laika Sorume dan TK Laika Sorume.

“Sorume itu tidak tumbuh di tanah. Dia tumbuh di atas pohon beringin, secara filosofi memiliki nilai tinggi bahwa itu adalah tumbuhan para dewa yang disebut dulu ‘Sangia’. Sehingga raja-raja yang tinggal di istana yang diikatkan sorume disebut Sangia,” tutur Ajemain, 19 April 2022.  

Karena bernilai sangat tinggi, dahulu songkok sorume hanya digunakan oleh para bangsawan yang disebut dengan “anakia”. Dahulu juga sorume belum memakai pewarna, hanya satu yakni warna aslinya kuning keemasan. Warna kuning ini bagi masyarakat Tolaki memiliki makna kejayaan, disebut juga “bari sangia” yang artinya warna dewa.

Kini terjadi pergeseran dalam penggunaan sorume karena bukan hanya kalangan bangsawan saja yang dapat menggunakannya. Pertama, para tokoh adat menggunakan sorume dalam setiap kegiatan adat. Kedua, siapapun yang mampu beli anyaman sorume bisa memakainya. Adapun yang tak berubah kata Ajemain, adalah harganya memang mahal sejak dahulu.

Ajemain memastikan sorume mulai digunakan sejak manusia punya teknologi atau pengetahuan tentang anyam-menganyam. Pada masyarakat Tolaki, diperkirakan anyaman sorume mulai ada pada abad ke-10 hingga keterampilan menganyam diwariskan dari generasi ke generasi.

Anggrek serat alias Sorume. Batangan umbinya berwarna kuning mengkilap yang diolah sedemikian ruap menjadi anyaman bernilai tinggi.

Namun, jumlah penganyam sorume terus berkurang seiring tanaman sorume yang juga berkurang. Berkurangnya sorume ini diperkirakan karena pembukaan lahan yang masif sehingga sudah sangat jarang ditemukan di wilayah Konawe.

(Baca: Kisah Pemburu Tanaman Para Dewa di Puncak Mowewe Kolaka Timur)

“Sorume itu ada di lembah-lembah yang subur, termasuk di sepanjang aliran sungai Konaweeha (wilayah Konawe) yang hulunya sebagian besar berada di wilayah Kolaka, sekarang terbagi jadi Kolaka Timur. Makanya Kolaka itu dulu dijuluki ‘Wonua Sorume’ artinya negeri anggrek,” ujar Ajemain, yang juga Kepala Biro Pemangku Adat Dewan Pimpinan Pusat Lembaga Adat Tolaki (LAT).      

Sebagai pemerhati budaya Tolaki, Ajemain ingin sorume tetap lestari sehingga tetap dapat menjadi bahan yang dapat digunakan masyarakat. Ia juga berharap hutan tempat tumbuhnya sorume tidak hanya sekadar hutan lindung biasa, tapi bagusnya jadi hutan konservasi khusus sehingga tidak bisa dirambah. (*)

Penulis: Muhamad Taslim Dalma

(Baca Juga: Mengenal Anggrek Serat Tanaman Endemik Sulawesi yang Terancam Punah)

Mengenal Anggrek Serat Tanaman Endemik Sulawesi yang Terancam Punah


Anggrek serat dengan nama latin Dendrobium utile merupakan jenis flora endemik Sulawesi. Anggrek yang merupakan bagian dari biodiversitas Wallacea ini dikenal oleh masyarakat lokal Tolaki di Sulawesi Tenggara dengan sebutan “sorume”.  

Keberadaannya di alam sangat terbatas, bahkan terancam punah bila taka da upaya pelestarian dari berbagai pihak. Di Sulawesi Tenggara pun, anggrek serat hanya banyak ditemukan di wilayah Kolaka Timur.   

(Baca: Kisah Pemburu Tanaman Para Dewa di Puncak Mowewe Kolaka Timur)

Anggrek serat berbeda dengan anggrek lainnya.  Tak hanya memiliki bunga tapi juga secara ilmiah bunga ini memiliki umbi semu yang kecil dan keras, dapat bertumbuh sepanjang 30 sentimeter hingga 1 meter. 

Umbi semu yang tumbuh ke atas ini memanjang berwarna dominan kuning dengan campuran hijau dan merah kecokelatan. Cirinya, tumbuh membentuk rumpun, dan umbinya memanjang lurus tak bercabang. 

Oleh masyarakat adat Tolaki umbi semu berbentuk sedotan itulah yang dikumpulkan lalu dibelah-belah memanjang untuk dijadikan aneka anyaman. Umbi semu yang berwarna emas mengkilap dengan serat yang sangat kuat membuatnya ideal jadi bahan anyaman. Kekuatanya dapat diuji coba dengan saling tarik dua orang dewasa menggunakan batang umbi semu anggrek serat. Hasilnya dapat dipastikan batang anggrek serat itu tak akan putus.

Anggrek serat dengan nama latin Dendrobium utile. Masyarakat Tolaki menyebutnya "Sorume". (Foto Penelitian LPPM UHO)

Lokasi tumbuhnya anggrek serat tersebut masuk dalam kawasan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Unit IV Ueesi. Kawasan KPH Ueesi seluas kurang lebih 150 ribu hektare ini termasuk dalam wilayah Kabupaten Kolaka Timur yang mencakup lima kecamatan yaitu Mowewe, Tinondo, Tirawuta, Ueesi, dan Uluiwoi. 

Kepala UPTD KPH UNIT XIV Ueesi, Charles Haryson Witak mengatakan luasan penyebaran anggrek serat ini belum diketahui. Upaya konservasi secara khusus terhadap anggrek serat ini belum ada, hanya memang karena kawasan KPH Ueesi termasuk hutan lindung maka secara tidak langsung tumbuhan jenis itu terlindungi dengan adanya aturan-aturan tentang hutan lindung.

Inti dari status hutan lindung adalah melindungi tumbuh-tumbuhan tertentu, hewan langka, tanah, dan air serta tidak boleh dikelola. Namun di tengah luasnya lahan pegunungan, personel KPH Ueesi yang hanya 9 orang cukup terbatas untuk secara total mengawasi aktivitas masyarakat di dalam kawasan hutan.

“Kalau ancaman terhadap tanaman jenis itu pasti ada. Yah namanya kehidupan inikan, tambah hari tambah banyak masyarakat, tambah banyak yang mencari makan di hutan. Apalagi anggrek itu diperjualbelikan. Jadi  jumlahnya bisa saja berkurang atau hilang,” ujar Charles, 19 April 2022.

Charles memastikan bila merujuk pada aturan tentang hutan lindung, maka tanaman seperti anggrek serat tidak boleh diambil. Namun persoalannya, yang mengambil dalam kawasan hutan lindung tidak dilihat dan anggrek serat menjadi bahan baku dalam pembuatan peralatan adat sejak dahulu kala. 

Salah satu solusinya adalah harus ada program dengan anggaran khusus untuk lokasi tumbuhnya anggrek serat. Namun kata Charles, hingga saat ini belum ada kegiatan khusus terkait pengawasan dan pengamanan anggrek serat yang notabene merupakan ciri khas Sulawesi Tenggara.

Populasi Anggrek Serat  

Peran pengelola kawasan terhadap upaya konservasi anggrek serat penting. Sebab terjadi perubahan distribusi anggrek serat karena adanya perubahan pada habitatnya akibat penebangan liar dan perubahan tutupan lahan sehingga kondisi lingkungan berubah.

Hal itu berdasarkan hasil penelitian Arifani Rahmawati dengan judul “Distribusi dan Pemanfaatan Anggrek Serat (Dendrobium Utile) di Sulawesi Tenggara”. Penelitian tesis sebagai tugas akhir dalam meraih gelar magister di Universitas Gajah Mada (UGM) itu dilakukannya pada September 2019 hingga April 2020.

Pengamatan anggrek serat pada habitatnya dilakukan di Mowewe, Kolaka Timur. Lokasi ini dipilihnya karena adanya kegiatan pemanfaatan yang masih dilakukan. Pada saat eksplorasi, ia menemukan anggrek serat pada ketinggian 1.378 mdpl yakni di Pegunungan Ulu Mowewe, Kecamatan Mowewe.

Lokasi tersebut memiliki kondisi lingkungan sejuk, sehingga pada batang-batang pohon ditumbuhi moss atau lumut. Adanya lumut inilah sebagai media tumbuh bagi anggrek serat. Ia menemukan anggrek serat menempel pada batang pohon, sela-sela batang atau banir, di antara percabangan dan pada tengah percabangan di mana bagian tersebut memungkinkan adanya akumulasi lumut sebagai substrat tumbuhnya anggrek.

Pada tahap inventarisasi, Arifani menemukan kelimpahan anggrek serat di wilayah Mowewe adalah 1 rumpun per hektar. Meskipun berada pada kawasan lindung, habitat anggrek serat menghadapi gangguan, berupa perubahan iklim dan tekanan manusia yang terus mendegradasi hutan. Hal ini ditandai dengan keberadaan anggrek serat yang dulunya berada pada ketinggian sekitar 800 MDPL, tapi kini baru dapat ditemukan pada ketinggian di atas 1.300 MDPL.

“Dikatakan berkurang di  tugas akhir saya berdasarkan titik penemuan anggrek yang semakin jauh/tinggi lokasinya dari lokasi awal ditemukannya anggrek menurut info dari pencari anggrek. Perubahan iklim, penebangan liar dan alih fungsi lahan di sekitarnya menjadi indikasi penyebabnya,” kata Arifani, 10 Mei 2022. 

Soal pemanfaatan anggrek untuk keperluan adat, Arifani menjelaskan bahwa memang seringkali jenis endemik dimanfaatkan oleh masyarakat tradisional. Oleh karena itu, pemanfaatan tumbuhan dalam keperluan adat mestinya diarahkan pada perlindungan atau konservasi lingkungan alam serta sumber daya yang ada di dalamnya sesuai dengan pengetahuan, praktek-praktek, kepercayaan dan prioritas dari masyarakat asli.

Hasil anyaman dari bahan baku anggrek serat.

“Pengrajinnya masih eksis, tetapi sekarang sudah berkurang, sementara nilai anggrek serat masih ‘mahal’ di mata sebagian masyarakat yang mengerti. Jadi pengambilan masih ada meskipun tidak sebanyak dulu untuk anyaman. Pernah ada yang coba membudidayakan tapi gagal karena tidak cocok kondisi lingkungannya,” ujar Arifani.

(Baca: Lintas Generasi Pengrajin di Konawe, Hasilkan Anyaman Tolaki Bernilai Tinggi dari Anggrek Serat)

Oleh karena itu, menurut Arifani konservasi anggrek serat perlu dilakukan karena menunjang keberlanjutan budaya Tolaki. Anggrek serat yang lestari menjadi kunci agar pemanfaatan dapat terus dilakukan. (***)

Penulis: Muhamad Taslim Dalma

Kisah Pemburu Tanaman Para Dewa di Puncak Mowewe Kolaka Timur


Anggrek serat atau Dendrobium utile memiliki keterikatan dengan kultur masyarakat Tolaki, salah satu suku yang mendiami wilayah Sulawesi Tenggara. Bunga jenis itu dikenal masyarakat lokal dengan sebutan sorume. 

Tumbuhan jenis ini dijuluki oleh masyarakat lokal sebagai tanaman para dewa. Ada beberapa alasan mengapa sorume memiliki nilai yang sangat tinggi sehingga disebut demikian. Pertama, sorume yang tidak tumbuh di tanah dan hanya tumbuh di atas pohon yang tinggi. Kemudian, sorume berwarna kuning keemasan mengkilap yang merupakan symbol kejayaan. 

Sorume ini menjadi bahan baku anyaman oleh pengrajin di Desa Ameroro, Kabupaten Konawe. Mereka menghasilkan anyaman yang dibutuhkan pada acara-acara adat Tolaki seperti tikar adat, songkok, dan alas kalosara (anyaman berbentuk persegi). 

Satu-satunya yang memasok kebutuhan anggrek serat  ke Desa Ameroro, adalah Syahrul (34) dan ayahnya, Subiyono (60). Mereka tinggal di Kelurahan Wointombo, Kecamatan Mowewe, Kolaka Timur.

Syahrul dan ayahnya hanya akan naik ke puncak Mowewe mencari anggrek serat bila ada pesanan, baik dalam bentuk yang masih hidup maupun potongan-potongan batang anggrek untuk bahan baku anyaman.

Perjalanan dari rumah mereka ke lereng gunung berjarak 2 kilometer. Rute awal ini ditempuh dengan menggunakan kendaraan roda dua. Lalu dari lereng gunung, mereka akan berjalan kaki naik ke puncak, lokasi tumbuhnya anggrek serat. Lama perjalanan bisa memakan waktu sampai 9 jam, makanya harus dimulai sejak subuh hari agar ketika sampai di puncak ada kesempatan untuk membuat kamp. 

Hutan yang mereka masuki bukanlah hutan biasa, tapi benar-benar hutan rimba yang mana penuh dengan pohon-pohon besar dan tinggi hingga sinar matahari tampak redup. Pepohonannya banyak ditumbuhi lumut dan kawasan ini memiliki ketinggian 1.000 hingga 1.700 meter di atas permukaan laut (MDPL).

“Di sana itu cepat sekali diselimuti dengan kabut dan suhunya itu dingin sekali. Kita berjalan mencari anggrek sorume itu seperti mencari sarang lebah madu di atas pohon. Tumbuhnya itu di pohon, mata minimal harus jeli melihat,” ujar Syahrul, 15 April 2022.

Anggrek serat atau Dendrobium utile. (Foto: Penelitian LPPM UHO)

Anggrek sorume tumbuh di batang maupun dahan pohon. Untuk mendapatkannya, Syahrul akan memanjatnya dengan posisi paling rendah 4 meter, dan ada pula hingga di ketinggian 20 meter. Kadang pula tapi jarang, anggrek sorume ditemukan di tanah pada dahan pohon yang jatuh karena lapuk.

Saat melihat anggrek yang sudah tua dan layak panen, Syahrul akan mengambilnya dari pohon beserta akar-akarnya. Anggrek serat yang layak panen ini cirinya rimbun dan batangnya sudah kekuning-kuningan, sedangkan yang belum layak panen tak diambilnya.

Syahrul hanya mengambil bagian umbinya, sementara bagian akarnya disimpannya di batang pohon dan di tanah agar kembali tumbuh. Sejauh pengamatannya, akar-akar sisa ini dapat kembali bertumbuh dengan baik di hutan itu. Namun bila ada pesanan untuk budi daya maka Syahrul akan mengambil penuh dengan akar-akarnya.

Setelah sampai di rumahnya, batangan-batangan anggrek serat dibersihkannya dengan pasir halus. Setelah itu, setiap batang dibelah dua untuk menjalani proses penjemuran. Saat sudah kering maka siap dikirim ke Ameroro sebagai bahan baku anyaman. 

Syahrul sendiri baru menekuni pekerjaan itu selama 10 tahun, sedangkan ayahnya sudah 40 tahun. Pekerjaan ini diturunkan dari generasi ke generasi, yang mana Syahrul sudah generasi keempat. Pencari anggrek serat di kampung itu tersisa mereka berdua. Sebelumnya saudara ayahnya juga seorang pencari anggrek tapi berhenti karena sudah lanjut usia.

Tantangan dalam menekuni pekerjaan itu adalah hujan yang bisa datang kapan saja disertai suhu dingin yang menusuk. Kemudian kabut yang datang pada pagi maupun siang hari. Bila sudah berkabut maka jarak pandang terjauh hanya 5 meter. Bila terjadi dua hal ini, mereka menghentikan pencarian dan kembali ke kamp.

Kembang Anggrek Serat. (Foto: Istimewa)

Terkait kelestarian anggrek serat, Syahrul yakin dengan cara panennya tak berpengaruh pada pengurangan populasi anggrek serat. Begitu pula dengan tanaman anggrek yang diambilnya untuk budi daya, diharapkan dapat dikembangbiakkan oleh masyarakat.

Satu-satunya ancaman menurutnya adalah pembalakan liar. Suara gergaji mesin (chainsaw) para penebang pohon sering terdengar saat perjalanan menuju lokasi tumbuhnya anggrek serat. Dikhawatirkan pohon yang ditebang adalah tempat tumbuhnya anggrek serat.

Syahrul mengidentifikasi pelaku pembalakan liar ini adalah masyarakat Mowewe sendiri, bukan orang dari kecamatan lain. Hanya menurutnya masih sangat jauh dengan lokasi tumbuhnya anggrek serat dan saat ini belum memungkinkan kayunya dapat diambil karena aksesnya yang sulit di ketinggian.

“Itu yang kita khawatirkan karena semakin hari semakin jauh mereka menebang kayu. Takutnya kalau masuk di area tumbuhnya anggrek sorume itu. Kapan sudah dirusak itu tinggal cerita belaka saja nanti,” tutur Syahrul. (***)

Penulis: Muhamad Taslim Dalma


Lintas Generasi Pengrajin di Konawe, Hasilkan Anyaman Tolaki Bernilai Tinggi dari Anggrek Serat


Pada suatu pagi yang cerah di Desa Ameroro, Kabupaten Konawe (15/4/2022), Asnawati terlihat fokus menganyam sebuah songkok berbahan anggrek serat, yang lebih dikenal sebagai sorume. Jam di dinding rumah kayu itu telah menunjukkan pukul 09.30, yang berarti sudah 1,5 jam ia berkutat dengan helai demi helai bahan anyaman. 

Bila sudah duduk menganyam di ruang tengah rumah itu, tak boleh ada yang mengganggunya sebab salah sedikit saja sususan helaiannya akan merusak motif anyaman secara keseluruhan. Di sampingnya terdapat dua mesin jahit yang digunakannya untuk menambahkan bahan kain dalam hasil anyamannya.

Ia akan menyudahi pekerjaannya bila sudah jam 3 sore.  Sebagai seorang ibu, ia juga harus mengurusi pekerjaan rumah tangga apalagi saat ini Bulan Ramadan. Selain menyiapkan sahur untuk keluarganya, ibu tiga anak ini juga mesti menyiapkan santapan buka puasa.  

Begitulah keseharian ibu berusia 43 tahun ini yang menekuni pekerjaan itu sudah 25 tahun. Keahlian menganyam itu didapatnya dari ibunya yang juga memiliki pekerjaan serupa. Ia memperkirakan pekerjaan itu sudah tiga generasi diturunkan pada setiap anak perempuan. Di kampung itu, lazimnya pekerjaan menganyam memang hanya dilakoni perempuan.

Anggrek serat (Dendrobium utile) atau yang dikenal dengan sebutan sorume.

Sejak remaja, Asnawati sudah dilatih untuk melanjutkan usaha orang tuanya. Kini usaha itu turut menopang ekonomi keluarganya. Suaminya yang bekerja sebagai peternak hanya sesekali membantu dalam penyiapan bahan baku. Sementara tiga anaknya yang semuanya laki-laki tidak berminat menganyam, mereka hanya membantu ibunya memasarkan lewat media sosial. 

Umbi pada anggrek serat yang bernama latin Dendrobium utile menjadi bahan baku utama yang mereka andalkan. Bahan baku berupa batangan kecil serupa pipet yang dibelah dua, mereka dapatkan dari pencari anggrek di Kecamatan Mowewe, Kolaka Timur. Sekilas ini, memang terlihat seperti batang biasa tapi dalam penelitian batang ini disebut dengan umbi semu. 

Bahan dari anggrek jenis ini memiliki keunggulan dari segi ketahanan yang bertekstur serat kuat dan tahan lama. Kekuatannya terlihat dengan percobaan sederhana ketika dua orang dewasa saling tarik dengan batang anggrek ini tidak putus.  Warnanya juga yang kuning keemasan mengkilap membuatnya tak perlu pewarna, tapi untuk variasi pengrajin menambahkan bahan pewarna merah dan hijau.

Bahan baku itu tidak langsung dapat digunakan tapi harus melalui beberapa proses lagi.  Awalnya bahan baku yang kaku dan keras direndam selama sepekan. Lalu, setiap batang dikeluarkan isi dalamnya hingga tersisa bagian serat luar yang berwarna kuning keemasan. Serat ini lalu dililitkan ke batangan bambu untuk dijemur 3 hari. 

Setelah dibuka dari batangan bambu, berbentuk pita yang siap dianyam. Warnanya kuning keemasan mengkilap. Pita ini dibelah-belah memanjang sesuai keperluan anyaman. Pada tahap ini juga dipisahkan untuk diberi pewarna kimia merah, hijau, dan hitam. Untuk bahan anyaman yang perlu warna kuning maka tak diberi pewarna.

Asnawati menunjukkan bahan baku dan hasil anyaman dari anggrek serat.

Dengan bahan tersebut, Asnawati membuat anyaman berupa songkok, tikar adat, alas kalo sara (berbentuk tikar persegi), dan tas. Harga songkok minimal Rp600 ribu dan bisa lebih mahal lagi sesuai motif anyaman. Sementara tikar adat berukuran 100 cm x 60 cm berharga Rp2 juta. 

Pelanggan Asnawati biasanya adalah masyarakat suku Tolaki untuk keperluan adat. Ada pula pelanggannya yang dari luar Provinsi Sulawesi Tenggara tapi tetap terkait dengan adat Tolaki. Pada awal April 2022 ini Asnawati menjual delapan songkok kepada seseorang untuk dibawa ke Batam yang akan digunakan dalam acara adat Tolaki.

Pelanggan biasanya datang langsung ke rumah Asnawati yang terletak tepat di depan jalan raya dan ada pula yang memesan lewat media sosial. Dalam pemasaran lewat media sosial ini, Asnawati dibantu oleh anaknya. 

“Sekarang ini datang terus pesanan. Jadi siapa yang duluan memesan dia yang dibikinkan duluan. Ini sekarang ada dua yang menunggu dibuatkan pesanannya, satu orang dari Konawe Selatan dan satu dari kampung sini,” ujar Asnawati sembari memperlihatkan aneka anyaman yang dibuatnya.

Meski banyak pesanan, ia tak serta merta menaikkan harga, begitu pula pembeli tidak lagi menawar dengan harga yang ada. Pembeli yang datang kadang geleng-geleng kepala karena rumitnya pembuatan anyaman itu.  

Tantangan dalam menjalankan usaha ini bagi Asnawati adalah bahan baku. Ia tak dapat memesan terlalu banyak sekaligus karena modalnya yang besar. Kalaupun jelang persedian bakal habis, kadang waktu pemesanan bisa berbulan-bulan baru sampai ke tangannya.

Misalnya untuk bahan baku yang ada saat ini, ia harus menunggu tiga bulan dan harus membayar uang muka. Harganya per tangkai Rp600 sampai Rp1.000 tergantung panjang batang. Dengan modal Rp3,3 juta, ia mendapatkan 5.000 batang anggrek serat. 

Ia sudah pernah mencoba sekali membudidayakan anggrek serat seperti bunga hias tapi hanya sekali dipanen lalu mati. Jadinya ia hanya berharap bahan baku dari pencari anggrek serat di Mowewe, Kabupaten Kolaka Timur, sementara untuk di daerah tempat tinggalnya Kabupaten Konawe tidak ada.

Terkait keberlangsungan usaha itu, karena ketiga anak laki-lakinya tak berminat maka ia telah menyiapkan seorang kemenakan perempuan untuk mempunyai usaha serupa. Ia melatihnya terkait penyiapan bahan dan keterampilan menganyam. 

Anyaman kopiah dengan bahan baku anggrek serat (Sorume). 

Selain Asnawati, di kampung itu saya bertemu Nenek Nastin yang juga memiliki usaha anyaman sorume dengan bentuk dan proses pembuatan yang sama, termasuk asal bahan baku. Jarak rumah mereka hanya sekira 100 meter. 

Mereka bergabung dalam satu kelompok pengrajin dengan nama Medulu. Karena satu kelompok dan masih terikat hubungan keluarga, Asnawati dan Nastin saling membantu serta sama-sama memberdayakan ibu-ibu tetangganya.

Para ibu-ibu tetangga mereka itu sudah mahir dengan bayaran per satuan hasil anyaman tapi hanya sebagai pekerjaan sambilan. Tidak seperti Asnawati dan Nastin yang fokus dari penyediaan bahan baku hingga mencari pelanggan.

Selain hasil anyaman, Nenek Nastin yang sudah berusia 64 tahun juga menyediakan anggrek serat dalam keadaan hidup. Anggrek dijualnya per pot mulai dari harga Rp150 ribu hingga Rp500 ribu. Tidak seperti Asnawati yang menyerah dalam memelihara anggrek serat, Nastin bisa merawatnya agar tetap hidup dan bertumbuh hingga laku terjual.

Nastin tampak meletakkan anggrek serat yang tersisa lima pot tepat di samping rumahnya tanpa terkena langsung sinar matahari. Ia akan menyiramnya tiga kali seminggu dan rutin memperhatikan perkembangannya. Bila ada batang yang sudah menua dan layu, ia akan segera memotongnya sehingga segera tumbuh tunas baru.

Bila tak laku terjual dan sudah rimbun, ia akan memanen anggrek serat itu untuk dijadikan bahan baku anyaman. Kendati begitu, pertumbuhannya yang lambat tak bisa diandalkan jadi sumber bahan baku dan bila tak diperhatikan anggrek serat di pot milik Nastin gampang mati.

“Itu yang di pot sudah saya panen tapi hanya 20 batang. Itu kurang sekali karena untuk membuat satu songkok saja perlu 200 batang,” tutur Nastin yang masih jago menganyam dengan aneka motif. 

Oleh karena itu, Nastin memesan bahan baku dari pencari di Mowewe, termasuk anggrek serat yang masih hidup. Ia sengaja menyediakan anggrek yang masih hidup karena orang yang datang selalu ingin melihat langsung dan tertarik membelinya.

Nastin sedang menganyam sebuah songkok.

Awal memulai pekerjaan menganyam, Nastin dulu masih berusia 13 tahun membantu ibunya. Keterampilan menganyam sorume itu diwariskan secara turun temurun, sehingga Nastin sebagai anak perempuan yang melanjutkannya. Keluarga ini sudah empat generasi menjalankan usaha itu.  

Soal keuntungan, bagi Nastin terbilang cukup seperti dirinya yang hanya beraktivitas di rumah. Perhitungannya begini, satu songkok sorume yang dianyam dalam waktu satu minggu dijual dengan harga Rp700 ribu maka keuntungannya adalah Rp300 ribu.

Dari hasil menganyam itu, nenek Nastin yang hanya bersuami seorang petani bisa membangun rumah permanen dan menghidupi 9 orang anaknya (5 laki-laki dan 4 perempuan). Bahkan Nastin baru saja pulang umrah dari hasil kerja menganyam.

Kini, Nastin telah menyiapkan empat orang anak perempuannya yang telah mahir menganyam sebagai penerus. Ia merasa bersyukur anak-anaknya sendiri mau belajar menganyam sehingga usaha kerajinan itu tidak putus pada dirinya yang kini sudah berusia senja. 

Tersisa Dua Usaha Pengrajin

Pemilik usaha kerajinan sorume hanya tersisa Asnawati dan Nastin, padahal sekitar tiga dekade yang lalu jumlahnya sekitar 10 orang di kampung itu. Dua pengrajin yang tersisa itu kini menjadi harapan untuk tetap menyediakan peralatan adat Tolaki berbahan sorume sebagai kekayaan budaya warisan leluhur. 

Juru Bicara Adat Desa Ameroro, Aswan mengaku khawatir karena jumlah pengrajin terus berkurang karena ada yang memasuki usia senja dan ada yang sudah meninggal dunia. Memang terdapat beberapa pengrajin anyaman di Konawe tapi yang menggunakan sorume hanya Asnawati dan Nastin. 

Sehingga, ia menekankan pentingnya regenerasi meski harus diakui bahwa generasi muda sudah tertarik dengan pekerjaan menganyam. Aswan mencontohkan, terdapat satu penganyam di kampung itu yang sudah menyiapkan anaknya jadi penerus hingga mahir menganyam, tapi tidak berlanjut karena si anak akhirnya lebih memilih pekerjaan lain.

“Soalnya sudah pada tua-tua ini, umur sudah 40 dan 60-an tahun. Kalau sudah 65 kan pasti tidak mampumi mata untuk menganyam itu, fisik juga sakit-sakit. Jadi jelas terancam. Biarpun juga bahan bakunya ada tapi kalau pengrajinnya tidak ada maka sama saja bohong,” ujar Aswan di kediamannya, 15 April 2022.

Oleh karena itu, menurut Aswan butuh dukungan dari semua pihak agar kerajinan sorume terus berlanjut, apalagi ini bagian dari ekonomi kreatif. Aswan sendiri sebagai tokoh adat turut mengambil peran dengan mempromosikan dan menjualkan produk sorume pada acara-acara tertentu.

Anyaman dari bahan baku anggrek serat. Tampak rapi dan indah dengan warna yang mengkilap.

Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kabupaten Konawe mencatat pengrajin sorume hanya ada di Ameroro dan yang menjalankan usaha itu tinggal Asnawati dan Nastin. Dekranasda Konawe membantu dengan mengadakan pelatihan peningkatan desain dan mempromosikan hasil anyaman hingga ke tingkat nasional.

Sekretaris Dekranasda Konawe, Sudriani mengatakan desain lama biasanya hanya songkok dan tikar, sehingga pihaknya melatihkan penambahan jenis kerajinan berupa aneka tas tangan yang disukai ibu-ibu. Pelatihan ini juga bukan hanya soal desain tapi bagaimana mendorong para generasi mudanya ikut menjadi penganyam sorume. 

Namun pelatihan ini juga tergantung pada penganggaran dari Pemerintah Daerah (Pemda), seperti tahun 2022 ini belum ada penganggaran sehingga tidak ada pelatihan. Tahun 2021 lalu, Dekranasda melaksanakan satu kali pelatihan.

“Pengrajin tinggal itu karena ada juga yang sudah meninggal. Makanya kita arahkan supaya yang muda-muda juga ikut memiliki keterampilan seperti itu,” ujar Sudriani saat bertemu di Kantor Disperindag Konawe, 16 April 2022. 

Selain itu, Dekranasda juga membantu promosi dan pemasaran. Pada kegiatan pameran dari tingkat kabupaten, provinsi sampai tingkat nasional, sorume diperkenalkan sebagai produk unggulan dari Konawe. Pengunjung pameran yang tertarik membeli akan dibantu oleh Dekranasda. 

Peminat kerajinan sorume ini didominasi oleh masyarakat Tolaki yang ada di Sulawesi Tenggara, biasanya dari daerah Konawe, Konawe Utara, Konawe Selatan, Kendari, Kolaka Timur, dan Kolaka. Mereka menggunakannya untuk acara-acara adat Tolaki. 

Barang Tiruan untuk Penuhi Kebutuhan Pasar

Untuk memenuhi tingginya permintaan pasar terhadap kerajinan dari bahan sorume maka dibuatkan tiruannya. Adalah Galeri Rumah Laikanggu yang membuat aneka tiruan anyaman sorume berupa tikar adat dan songkok.

“Sekarang karena barang itu langka (kerajinan sorume) sementara itu ciri khasnya kita orang Tolaki, saya coba buatkan KW-nya dari bahan pandan hutan. Kami buat semirip mungkin. Perbedaannya, kalau sorume itu sangat halus sekali, kalau ini pandan masih agak kasar potongan-potongannya,” ujar Fatmawati Harli Tombili selaku Pemilik Galeri Rumah Laikanggu, 24 April 2022.

Untuk dapat membuat tiruan tersebut, karena tenaga kerja lokal yang terbatas maka Fatmawati memesannya di Jawa. Ia meminta penganyam di sana untuk membuatnya semirip mungkin mulai dari warnanya hingga bentuknya. Hasilnya, kini sudah tersedia di galerinya sebagai barang jualan.

Perbandingan harganya, bila songkok dari bahan sorume berharga Rp1 juta sampai Rp1,5 juta, maka tiruannya yang dari bahan pandan hutan hanya Rp250 ribu saja. Sementara tikar sorume seharga Rp2,5 juta, maka tiruannya hanya Rp450 ribu saja. 

Ia berharap bahan anyaman itu menjadi alternatif yang dapat diminati oleh masyarakat sehingga tidak terlalu bergantung pada bahan sorume yang langka. Kendati begitu, ia belum bisa melihat respon pelanggan karena barang-barang dari pandan baru saja dipajangnya.

Pembuatan barang tiruan sorume itu juga dalam rangka membiasakan masyarakat agar tidak melupakan budayanya sendiri di tengah terbatasnya bahan baku dan sedikitnya yang pandai membuat anyaman sorume. 

Ia khawatir dengan mahalnya harga anyaman sorume, masyarakat tidak mau membelinya karena banyak hal lain yang jadi prioritas. Dengan adanya barang duplikat itu diharap pergerakan budaya tetap berjalan sebagaimana mestinya. 

Penelitian tentang Anggrek Serat

Struktur tanaman bernama ilmiah Dendrobium Utile ini terdiri dari akar, batang, umbi semu, daun, dan kembang. Di alam, anggrek serat tergolong tanaman epifit yang hidupnya menempel pada batang pohon. Cara perkembangbiakannya lewat biji dari penyerbukan.

Pada lama powo.science.kew.org (https://powo.science.kew.org/taxon/urn:lsid:ipni.org:names:628862-1) disebutkan bahwa distribusi anggrek serat terdapat di Sulawesi dan Maluku. Di situ juga tercatat bahwa dalam The International Plant Names Index, peneliti awal “dendrobium utile” adalah J.J. Smith. 

Anggrek serat (Dendrobium utile) yang digambar dalam penelitian J.J. Smith. (Sumber: Istimewa)

Dari penelusuran penulis, penelitian terdahulu tentang anggrek serat yang merupakan endemik Indonesia ini memang dilakukan oleh J.J. Smith. Naskah penelitiannya yang berbahasa Jerman terbit dengan judul “Icones Bogorienses Volume II” tahun 1906.

Dalam penelitiannya  J.J. Smith menjelaskan struktur tumbuhan anggrek serat mulai dari umbi, daun, hingga kembang. Misalnya, ia menyebut bahwa perbungaan di puncak umbi, berbunga, sangat pendek, dan penjelasan tentang struktur lainnya.

“Prof. M. Weber membawa tanaman semacam ini dari Ambon, di mana katanya batangnya digunakan untuk menganyam benda-benda kecil seperti topi, kotak cerutu, dan lain-lain.” tulis J.J. Smith dalam naskahnya.

J.J. Smith juga menyebut industri anyaman serupa juga terdapat di kepulauan Sangir (nama suku yang berada di Sulawesi Utara). Namun dia tidak dapat mengatakan apakah hanya satu dan spesies yang sama untuk tujuan ini (anyaman). (***) 

Penulis: Muhamad Taslim Dalma


Jembatan Teluk Kendari atau Jembatan Bahteramas? Ini yang Benar

Jembatan Teluk Kendari

JENDELASULTRA.BLOGSPOT.COM
- Jembatan Teluk Kendari diresmikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 22 Oktober 2020 lalu. Dalam penamaannya, orang-orang ada yang masih menyebut Jembatan Bahteramas. 

Lalu, manakah yang benar, Jembatan Teluk Kendari atau Jembatan Bahteramas?

Yang benar adalah "Jembatan Teluk Kendari". Jembatan ini dibangun dengan menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam program pemerintah pusat. Maka pemerintah pusat yang berhak menamakannnya. Secara resmi disebut Jembatan Teluk Kendari.

Lalu apa kaitannya dengan penyebutan Jembatan Bahteramas. Sah-sah saja, apalah artinya sebuah nama. Tak ada seorang pun yang akan melarang untuk menyebutnya demikian.

Sekedar info. Bahteramas adalah program andalah Nur Alam sebagai Gubernur Sulawesi Tenggara. Bahteramas merupakan akronim dari "Membangun Kesejahteraan Masyarakat". Karena jembatan itu "digolkan" di pusat saat masa pemerintahan Nur Alam maka lahirlah nama Jembatan Bahteramas. Namun karena pemerintah pusat yang membangun, maka mereka yang memberi nama.

Nama Bahteramas ini melekat pada pembangunan Nur Alam dan wakilnya Saleh Lasata. Misalnya penamaan untuk Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) tingkat provinsi, dinamakan RSUD Bahteramas. Bahkan ada kapal feri, KMP Bahteramas.

Hanya tak dapat dipungkiri memang, pembangunan awal Jembatan Teluk Kendari tak lepas dari sokongan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Sultra. Semisal anggaran untuk pembebasan lahan, dan penjinakan bom perang dunia II. Ini menggunakan anggaran pemerintah provinsi yang tidak sedikit dengan catatan sebagai talangan saja yang kelak akan diganti oleh Balai Jalan Nasional, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Hanya belum jelas, apakah dana talangan itu sudah diganti. (*)

Mengenal Sosok Nur Alam, Gubernur yang Berakhir di Jeruji Besi

JENDELASULTRA.BLOGSPOT.COM - Selama menjadi Gubernur Sulawesi Tenggara dua periode, pembangunan Nur Alam terlihat dari infrastruktur fisik yang digarapnya. Semasa pemerintahan tak dapat dipungkiri ada peningkatan  pelabuhan, rumah sakit, jalan, bandara, dan lainnya. Contoh pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Bahteramas dengan bangunan dan lokasi yang baru.

Dua proyek monumental yang disebut atas upaya Nur Alam dengan anggaran ratusan miliar adalah pembangunan Jembatan Teluk Kendari dan Masjid Al Alam. Dua proyek ini sama-sama berada di Teluk Kendari.

Jembatan Teluk Kendari yang membentang dari Pulau Bungkutoko dan Kota Lama adalah proyek pusat dengan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sedangkan anggaran Masjid Al Alam berasal dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Provinsi Sultra. Soal jembatan ini selesai pembangunannya usai pemerintahan Nur Alam, yakni ketika Ali Mazi kembali memerintah.

(Baca: Profil Nur Alam, Gubernur Sulawesi Tenggara yang Brilian)

Apa yang menjadi pencapaian Nur Alam sebagai gubernur tersebut hanyalah sebagian yang nampak, masih ada lainnya yang tak perlu disebut satu. Tentu ada hal positif dan ada pula yang kurang memuskan. Misalnya selama masa pemerintahannya, jalan provinsi banyak yang dibiarkan rusak contohnya jalan provinsi di Muna dan Buton Utara.

Namun goresan tinta emas sepanjang masa kepemimpinannya harus ditutup dengan setitik noktah yang mencemari. Ia berakhir di jeruji besi, dan menjadi catatan sejarah sebagai satu-satunya gubernur Sulawesi Tenggara yang menutup masa jabatan di bui.  

Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam

Berakhir di Jeruji Besi

Kemegahan dan kenikmatan tahta gubernur, mesti berganti dengan dinginnya jeruji besi. Begitulah apa yang harus dialami Nur Alam. Kasusnya menyeruak saat memasuki periode kedua masa jabatannya. Nur Alam ditetapkan tersangka oleh KPK pada Agustus 2016. KPK menemukan tindak pidana korupsi terkait izin pertambangan di Sulawesi Tenggara tahun 2009-2014.

Kasus itu terkait tindakan Nur Alam mengeluarkan Surat Keputusan (SK) persetujuan wilayah cadangan pertambangan, persetujuan izin usaha pertambangan, eskplorasi dan SK persetujuan peningkatan izin usaha pertambangan eksplorasi menjadi usaha pertambangan operasi produksi kepada PT Anugerah Harisma Barokah (AHB). Perusahaan ini melakukan penambangan nikel di Kabupaten Buton dan Bombana. Karena lintas kabupaten, maka memang Nur Alam sebagai gubernur yang berwenang soal izinnya.

Selain soal izin, Nur Alam juga didakwa telah menerima gratifikasi sebesar Rp40,26 miliar dari perusahaan Richorp Internasional Ltd. Gratifikasi tersebut diterima Nur Alam pada saat menjabat sebagai Gubernur. Gratifikasi ini juga disebut masih terkait dengan penyalahgunaan kewenangannya, yang kaitannya Richorp Internasional Ltd adalah pembeli nikel PT AHB.

Richorp Internasional Ltd diketahui mengirim uang kepada Nur Alam secara bertahap hingga totalnya mencapai Rp40 miliar lebih. Kemudian uang itu dipecah ke dalam tiga polis asuransi masing-masing Rp10 miliar. Sementara Rp10 miliar sisanya dikirim ke Nur Alam di Bank Mandiri yang ada di Kendari. Karena transferan inilah kemudian, ramai soal rekening gendut kepala daerah.

Perkara pun berlanjut, tepatnya Pada 28 Maret 2018, hakim memvonis Nur Alam pidana kurungan penjara selama 12 tahun dan pidana denda sebesar Rp1 miliar subsider pidana kurungan 6 bulan, serta pidana tambahan uang pengganti sebesar Rp2,7 miliar subsider 1 tahun pidana kurungan penjara. Selain itu, hakim juga mencabut hak politik selama 5 tahun, terhitung sejak Nur Alam selesai menjalani hukuman nanti.

Proses hukum lalu berlanjut lagi ke tingkat banding berdasarkan permohonan kedua belah pihak, jaksa penuntut umum dari KPK dan pihak Nur Alam. Pada tingkat banding ini, Nur Alam tetap dinyatakan bersalah, bahkan masa hukuman pidana penjaranya ditambah dari 12 tahun jadi 15 tahun.

Dalam kasus ini, negara dirugikan Rp2,728 triliun berdasarkan keterangan Basuki Wasis, seorang ahli lingkungan dan kerusakan tanah yang dihadirkan oleh KPK di persidangan. Perhitungan kerugian ini dengan mempertimbangkan kerusakan lingkungan. Basuki kemudian digugat oleh kuasa hukum Nur Alam di Pengadilan Negeri (PN) Cibinong tapi ditolak.

Kini, di tahun 2020, Nur Alam telah berusia 53 tahun, dan sudah 3 tahun menjalani masa tahanan. Masih lama untuk bebas, sekitar 12 tahun lagi. Belum lagi hak politiknya dicabut selama tahun pasca-bebas nanti. Maka selama itu pula dia tidak akan tampak di dunia perpolitikan, dunia yang membesarkan namanya. (*) 


Penulis: Muhamad Taslim Dalma

Referensi:

-Data pemberitaan media massa

-Sistem informasi penelusuran perkara 


7 Makanan Khas Sulawesi Tenggara Enak dan Unik

JENDELASULTRA.BLOGSPOT.COM – Sulawesi Tenggara (Sultra) memiliki beragam makanan khas yang tak hanya enak tapi juga unik baik rasanya maupun bentuknya. Semua muncul dari masyarakat yang beragam suku dan tradisi.

Makanan khas Sulawesi Tenggara.


Berikut 7 makanan khas Sulawesi Tenggara terpopuler:

1. Lapa-lapa
Lapa-lapa

Lapa-lapa adalah makanan tradisional yang banyak dijumpai di Pulau Buton dan Muna. Makanan ini lekat dengan tradisi masyarakat setempat yang selalu menyajikan lapa-lapa dalam acara-acara adat. Lapa-lapa jadi hidangan utama yang wajib.

Bentuk makanan ini seperti tongkat estafet. Bungkusnya adalah janur yang diikat dengan tali, biasanya tali bhontu (tali dari kulit kayu yang dikeringkan). Isinya adalah beras dan santan. Perpaduan kedua bahan ini terbungkus janur dengan rapatnya ikatan tali, sehingga menjadi kunci rasa khas pada makanan ini. 

Biasanya lapa-lapa dibuat dalam jumlah banyak karena untuk keperluan acara masyarakat. Dalam satu keluarga yang syukuran maupun yang menggelar acara haroa, bisa menghabiskan 5 liter sampai 10 liter beras. Makanan ini bisa cukup awet dua hingga tiga hari, asalkan tidak dipisahkan dari air rebusan awal yang berwarna kecoklatan.

2. Sinonggi
Sinonggi

Sinonggi adalah makanan khas Sulawesi Tenggara yang dibuat dari bahan dasar tepung sari pati sagu. Sinonggi hanya mudah ditemui beberapa daerah Sulawesi Tenggara, dimana pohon sagu tumbuh subur. Wilayah penyebaran pohon sagu paling besar ada di Kota Kendari, Konawe, Konawe Selatan, Konawe Utara, dan Kolaka Timur. 

Pembuatannya mula-mula tepung sagu dicampur air biasa dalam baskom, lalu didiamkan. Proses itu, akan membuat tepung sagu putih mengendap, sementara kotoran dan tepung sagu yang agak coklat akan terangkat ke permukaan air. Setelah itu, airnya ditumpah dan yang tersisa adalah tepung sagu basah yang putih bersih.  

Proses selanjutnya, sagu ditaruh di baskom lalu disiram air mendidih dan diaduk-aduk. Sagu yang yang telah disiram air panas harus terus diaduk hingga menggumpal dan percampuran air dan sagu merata hingga tidak ada bintik-bintik tepung.  

Sinonggi biasa disajikan dengan makanan khas lainnya yang berkuah seperti ikan palumara (hidangan ikan) dan ayam tawaloho. Penyajiannya, mula-mula piring diberi kuah ikan palumara, perasan jeruk nipis, dan lombok biji. Dari wadah, sinonggi digulung dengan dua batang sumpit lalu ditaruh di piring yang telah lengkap dengan kuah tadi.
 
Sinonggi yang masih hangat sangat tepat untuk segera dimakan, apalagi bila kuah ikannya juga yang masih hangat. Namun, bila sudah dingin, rasanya cenderung berbeda dan hanya sedikit orang yang menyukainya.


3. Kambuse

Kambuse


Kambuse atau kambose adalah salah satu makanan pokok pada masyarakat di Pulau Muna. Sebelum populernya beras, kambuse jadi isi perut siang dan malam. Kambuse juga jadi bekal yang sangat diandalkan ketika masuk hutan dan berkebun.

Makanan ini terbuat dari biji jagung putih (biasa). Makanan ini dikonsumsi dengan lauk pendamping seperti ikan asin  dan sayur bening. Teksturnya yang keras bisa melatih kekuatan otot-otot rahang.


Cara memasak kambuse sederhana saja . Pertama-tama Biji jagung direbus dalam panci berisi air secukupnya, setelah mendidih tambahkan air kapur. Air kapur ini menjadi kunci enaknya kambuse, selain memberi rasa juga melunakkan kulit ari pada biji jagung. Kapur ini adalah khusus dari karang yang panaskan jadi kapur. 

Kambuse yang telah matang adalah bila sudah berwarna putih kekuningan dan biji jagung dianggap sudah lembek. Setelah itu biji jagung yang telah masak dicuci dengan air bersih sekitar 4 sampai 5 kali agar kapurnya hilang terbawa air.


Kambuse biasanya dimakan biasa seperti camilan. Ada juga yang dihancurkan  dengan cara ditumbuk dalam lesung atau digiling dalam alat bernama kagiling. Kambuse yang ditumbuk dalam lesung ini mempunyai rasa tersendiri.


4. Cucur
Cucur

Cucur adalah makanan dalam jenis kue. Bentuknya bundar seukuran telapak tangan. Warnanya merah kecoklatan, seperti warna gula merah. Bahannya memang hanya terdiri dari tepung beras dan gula merah. Untuk memenuhi selera ada yang menambahkannya dengan sedikit gula pasir dan  santan kelapa. 

Pembuatnya juga biasanya menggunakan jenis  beras dolog, bukan beras kepala atau beras mahal lainnya. Alasannya, sederhana karena beras dolog yang teksturnya mudah hancur akan menghasilkan kue cucur yang renyah.

Bahan lainnya yang diperlukan adalah minyak untuk menggoreng, akan lebih baik jika pakai minyak kelapa buatan masyarakat sendiri agar bau cucur yang dihasilkan lebih wangi. 


5. Kasoami
Kasoami

Kasoami  berasal dari bahan baku ubi kayu (singkong) yang tumbuh subur di wilayah kepulauan Sulawesi. Modelnya seperti kerucut, warnanya putih. Teksturnya lumayan kenyal. Memakannya paling enak dengan ikan bakar, atau bisa juga dengan ikan asin.

Pembuatannya, mula-mula ubi kayu diparut atau digiling pakai mesin. Hasil parutan dimasukan dalam karung atau kain untuk dipadatkan. Pemadatan dilakukan untuk menghilangkan kandungan air pada hasil parutan dengan cara ditindis/ditekan pakai alat dari kayu ataupun batu besar.

Padatan tersebut berwarna putih bersih (warna dasar ubi kayu) dan berbentuk lingkaran dengan diameter sekira 30 Cm serta ketebalan 5 sampai 6 Cm. Padatan lalu dibungkus dengan daun pohon jati atau daun pisang dan diikat. Bahan dasar inilah yang disebut Kagepe (penyebutan Buton-Wakatobi) alias Kaopi (Muna)  yang banyak dijual di pasar-pasar lokal setempat.

Bahan ini tidak bisa langsung dimakan karena harus dimasak terlebih dahulu dengan berbagai macam sajian. Kagepe selain  digunakan untuk bahan dasar membuat Kasoami, juga biasanya diolah menjadi kuliner khas lainnya seperti Onde-Onde, Sanggara Bandar (pisang goreng warna-warni), kerupuk, dan lainnya.

Tata cara membuat Kasoami masih sangat tradisional. Awalnya Kagepe diremas-remas dengan tangan sampai menyerupai tepung. Lalu bahan tersebut diamasukkan dalam alat kukus yang sangat unik, berbentuk kerucut (kurang lebih sama dengan tumpeng). Alat dengan volume sekira 1 liter ini  terbuat dari anyaman daun kelapa.

Untuk mengukusnya tidak menggunakan panci biasa namun dengan periuk yang terbuat dari tanah liat (mirip sebuah guci). Mulut periuk tersebut dimasukan alat kerucut yang telah berisi tepung kagepe. Lalu dimulailah proses pemasakan dengan api sedang dan volume air (sedang) dalam periuk yang tak sampai bersentuhan ujung kerucut.

Makanan ini biasanya dihidangkan  dengan kuliner khas lainnya seperti Kenta Parende (ikan kuah), Kadada Katembe (sayur bening), Kenta Kagarai (ikan asin) maupun ikan bakar. Rasa Kasoami cukup unik (kenyal-lembut), berbeda dengan makanan pokok lainnya seperti nasi. Jika dimakan tanpa lauk pauk, dipastikan kita akan sering merasa kehausan karena tekstur Kasoami yang menyerap cairan dalam mulut. 


6. Gola Ni’i 
Gola Ni'i atau Gula Kelapa

Gola ni’i atau lebih dikenal dengan sebutan kue gula kalupu adalah makanan yang banyak dibuat di Pulau Kabaena. Pulau ini terkenal sebagai pengahasil gula aren/gula merah. 

Masyarakat di Pulau Kabaena memang sangat ahli dalam membuat gola ni’i. Bahan-bahannya terdiri dari daging kelapa, gula aren, dan beras ketan. Ketiga bahan tersebut diolah sedemikian rupa hingga menghasilkan adonan yang legit dengan tingkat kekenyalan yang cukup padat.

Racikan adonan yang sudah masak berwarna merah kecoklatan kemudian dibungkus dengan lembaran kulit jagung, sebuah bentuk kemasan yang masih sangat tradisional. Kemudian, diikat rapat dengan menggunakan tali, tiga ikatan atas-tengah-bawah. Setelah jadi, ukurannya hanya hanya sebesar dua bola pimpong.

Mengenai rasa, manisnya unik dari cita rasa asli gula aren Pulau Kabaena. Enak disantap hanya sesekali waktu. Sebab rasanya yang legit bagi yang terlalu banyak mengkonsumsinya akan merasa bosan, tapi bakal bikin rindu dengan rasanya.


7. Kabuto
Kabuto

Kabuto adalah  makanan yang berasal dari ubi kayu (singkong)  yang dikeringkan.  Jenis bahan makanan yang bisa bertahan sangat lama bila sudah benar-benar kering. Makanan ini mungkin juga ada di daerah lain penghasil singkong dengan penamaan yang berbeda. 

Penyebutan “kabuto” di sini merujuk pada bahasa Muna dari kata “buto” artinya ‘lapuk’. Dalam proses pembuatannya memang ubi kayu mengalami pelapukan dari proses fermentasi sederhana. Warna ubi yang putih berubah jadi hitam pekat bercampur warna abu-abu, dan kadang pula kabuto berlubang-lubang seperti kayu yang dimakan rayap. 

Pengolakan kabuto dengan direndam terlebih dahulu lalu direbus. Ada juga yang setelah direndam berjam-jam lalu dihancurkan dengan tangan untuk kemudian direbus plus campuran parutan kelapa. (*) 

Profil Nur Alam, Gubernur Sulawesi Tenggara yang Brilian

JENDELASULTRA.BLOGSPOT.COM- Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Nur Alam adalah salah satu kepala daerah yang memiliki banyak pencapaian hidup. Menyelami profil Nur Alam adalah melihat sosok seorang  gubernur dengan perjalanan karir bisnis dan politik yang brilian.

Nur Alam lahir di Konda (kini masuk wilayah Konawe Selatan) pada Juli 1967. Dalam beberapa biografi hidupnya, dikisahkan Nur Alam terlahir bukan dari kalangan bangsawan atapun keluarga kaya, tapi dari masyarakat biasa yang sederhana. 

Nur Alam bersama Jokowi

Pengusaha Sukses

Bakat dan naluri bisnis Nur Alam terpupuk sejak kecil. Ketika duduk di bangku SD, ia belajar secara otodidak dengan hal-hal kecil semisal menjual kelapa, kemiri, dan hasil kebun orang tuanya. Bahkan ia juga tak sungkan ikut melaut bersama temannya untuk sekedar mengisi waktu luang dan perut yang kosong.

Ketika masuk SMA Mandonga (kini bernama SMAN 4 Kendari), bakat bisnisnya semakin terlatih dengan menjalankan usaha sablon. Usaha tersebut berkembang hingga ia dapat membeli mesin fotocopy offset. Masa-masa remajanya terbagi antara belajar di kelas dan berwirausaha secara mandiri.

Begitu memasuki jenjang kuliah, sebagai mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Haluoleo, Nur Alam mencari pengalaman berbeda. Ia belajar bagaimana menjadi kontraktor dengan bekerja di PT Pertiwi. Di perusahaan ini Nur Alam tak hanya kerja tapi juga banyak belajar. 

Tak mau hanya sekadar jadi anak buah, Nur Alam kemudian membuat perusahaan sendiri dengan mendirikan PT Tamalakindo Puri Perkasa. Perusahaan inilah yang kemudian jadi awal mula Nur Alam mengerjakan proyek, dari yang kecil sampai besar.

Didasarkan pada data laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) Nur Alam per tanggal 5 Juli 2013, harta Nur Alam sudah mencapai Rp 30,9 Miliar. Duit sebesar itu tentu merujuk pada kekayaannya sebagai pengusaha dan sudah menjabat gubernur selama satu periode.

Mahir Berpolitik

Tolak ukur kesuksesan Nur Alam sebagai tokoh politik senior dapat dilihat kacakapannya memimpin Partai Amanat Nasional (PAN), dan mengalahkan petahana Ali Mazi dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) awal 2008.  Nur Alam kembali memenangkan pertarungan pada pemilihan gubernur 2013 untuk periode kedua.

Catatan historis perjalanan politik Nur Alam dimulai ketika runtuhnya rezim orde baru dan memasuki era reformasi. Saat itu lahir sebuah partai baru bernama Partai Amanat Nasional dengan tokoh kunci Amin Rais. Nur Alam menjadi anggota Komite Persiapan Pembentukan Wilayah (KPW) untuk menggelar Musyawarah Wilayah (Muswil) dan mendeklarasikan PAN di Sulawesi Tenggara.

Muswil PAN Provinsi Sultra pertama berhasil diselenggarakan pada 1998 pasca-lengsernya Soeharto. Nur Alam diangkat jadi sekretaris sedangkan ketua dijabat oleh Andrey Jufri. Dua tahun kemudian barulah Nur Alam menjadi ketua melalui Muswil PAN kedua, tepatnya pada 27 Juli tahun 2000. Momen ini jadi titik tolak Nur Alam meruntuhkan dominasi Golkar, si pohon beringin yang mengakar pada masa orde baru.

Di bawah pergerakan dan kalkulasi seorang sarjana ekonomi ini, kader-kader PAN mulai didudukkan di legislatif dan eksekutif. PAN yang melesat, tentu Imbasnya adalah menciutnya kekuatan partai-partai lain yang sempat kokoh di masa orde baru. 

Di DPRD Provinsi Sultra pada pemilu 1999 PAN hanya bisa mendudukan 1 kadernya. Begitu Nur Alam jadi nahkoda, pada 2004 PAN sukses maraih 6 kursi. Perolehan kursi ini pulalah yang mengantarkan ia menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Sultra. Lalu pada akhir 2007, perolehan kursi sebanyak itu melapangkan jalannya dalam menghimpun koalisi pintu pencalonan. Kemudian sejarah mencatat, ia sukses mengalahkan petahana, dan jadi gubernur pertama daerah ini yang dipilih langsung oleh rakyatnya.

Berdasarkan data KPU, dari pemilu ke pemilu PAN selalu meningkatkan jumlah kursinya. Pada pemilu 2009, PAN meraih 7 kursi, lalu pada pemilu 2014 naik lagi menjadi 9 kursi. Perolehan 9 kursi membuat  PAN merengkuh jabatan Ketua DPRD Sultra, padahal sebelumnya selalu diisi Golkar.

PAN semasa Nur Alam juga selalu mampu mengirimkan satu kadernya di Senayan sebagai anggota DPR RI pada 2004, 2009, dan 2014. Pada 2014 lalu yang terpilih adalah istrinya sendiri, Tina Nur Alam. Terpilihnya Tina terbilang fenomenal sebab di daftar caleg PAN juga ada sosok La Ode Ida, yang pernah menjabat Wakil Ketua DPD RI.

Selain itu, persoalan memenangkan kader PAN sebagai kepala daerah di kabupaten/kota,  tangan terampil Nur Alam sangat terbukti. Bukan hanya sekadar memenangkan pertarungan yang didukung, tapi ia juga mampu menarik figur-figur potensial bergabung di PAN dengan jabatan ketua di kabupaten/kota.

Figur potensial yang berhasil ditarik merapat di PAN adalah Baharuddin ketika memenangkan Pemilihan Bupati Muna 2010, AS Thamrin Pemilihan Wali Kota Baubau 2013, Ridwan Zakaria Pemilihan Buton Utara 2010, dan Asrun Pemilihan Wali Kota Kendari 2012. 

Sementara kader asli PAN yang didukung dan dimenangkan adalah Umar Samiun di Pemilihan Bupati Buton 2012, Kery Saiful Konggoasa di Pemilhan Bupati Konawe 2013, Tafdil di Pemilihan Bupati Bombana 2011, dan Arhawi sebagai wakil di Pemilihan Bupati Wakatobi 2011.

Hingga tahun 2015, Nur Alam masih menjadi pucuk pimpinan di PAN Sultra, yang artinya selama 15 tahun sama sekali tak tergantikan. Berhasil dalam dunia usaha dan dunia politik, maka pantaslah Nur Alam dipandang sebagai tokoh daerah paling paripurna dibanding figur-figur lain selevelnya. (*)


Penulis: Muhamad Taslim Dalma

Referensi:

– Dokumen reportase penulis

– Jurnal Ilmiah “Fenomena ‘Bossisme Local’ di Era Desentralisasi” oleh Eka Suaib dan La Husen Zuada

– https://infoduniaraya.blogspot.co.id/2014/08/profil-h-nur-alam-se-msi-gubernur-ke-9.html

– http://yaminindas.com/?p=1272

– http://yaminindas.com/?p=520

– http://www.jpnn.com/news/wow-tajir-banget-harta-nur-alam-tembus-angka


Cerita Rakyat Muna: Pasangan Kawin Lari Berubah Jadi Buaya (Bagian-2)

JENDELASULTRA.BLOGSPOT.COM– Pria yang menculik Wa De Kokanda tidak lain adalah kekasihnya sendiri, bernama La Tandakire. Mereka telah menjalin hubungan asmara sejak sebelum Wa De Kokanda ikut Karia. 

Baca artikel sebelumnya: Cerita Rakyat Muna: Pasangan Kawin Lari Berubah Jadi Buaya (Bagian-1)

Rupanya Wa De Kokanda dan La Tandakire melakukan kawin lari. La Tandakire tidak cukup berani untuk melamar setelah selesai acara Karia. Apalagi mereka berasal dari kalangan berbeda, putri penguasa dan pria biasa dari kalangan bawah yang miskin. Berpikir tak ada jalan lain, maka La Tandakire menjalankan aksinya dengan membawa pergi Wa De Kokanda. Mereka membawa serta perhiasan emas tujuh belanga yang dipakai Wa De Kokanda. 

Peristiwa itu membuat heboh seisi kampung dan jadi bahan cerita di mana-mana. Mereka tak menyangka, putri tersebut mau diajak kawin lari. La De Pana sendiri merasa sangat kesal bercampur sedih. Sebab selain memang Wa De Kokanda anak kesayangannya, belum lagi ia memikirkan perhiasan emas milik kakaknya.

Sebagai penguasa ia hanya bisa meminta semua orang pergi mencari putrinya itu. Warga satu kampung sampai kelelahan mencari berhari-hari, keliling di mana-mana tapi tidak menemukan pasangan itu. 

Wa De Kokanda dengan La Tandakire terus bersembunyi dalam hutan. Sampai seterusnya pasangan kawin lari itu tidak kelihatan. Sedangkan perhiasan emas yang dibawanya juga tidak dikembalikan. Emas inilah yang jadi persoalan dan hampir menjadi biang konflik antara kakak-adik Penguasa Rete dan Penguasa Laghontoghe.

Untuk mencegah konflik besar antar dua kampung, maka jalannya adalah tradisi musyawarah. Perangkat Kampung Laghontoghe dan Perangkat Kampung Rete bertemu untuk mufakat tapi tidak ada titik temu karena Penguasa Rete tidak memiliki uang  untuk mengganti perhiasan emas tujuh belanga. Dalam musyawarah itu disimpulkan, meskipun Ki’no Laghontoghe dan Ki’no Rete adalah kakak beradik namun perhiasan emas harus digantikan.

Musyawarah demi musyawarah digelar namun tetap tak ada titik temu sedangkan Wa De Kokanda dan perhiasan emas tak kunjung kembali. Lama kelamaan Penguasa La Ghontoghe berbicara “Sudah lelah juga saya berak di lubang batu, saya akan coba berak di batang kayu,”. Perkataan itu sebagai tanda bahwa penyelesaian sengketa harus lanjut ke tahap selanjutnya yaitu pengadilan kampung.

Masalah itu kemudian dibawa ke hakim kampung bernama La Salama untuk menyelesaikannya. Jalan ini merupakan jalan terakhir yang tak dapat lagi diganggu gugat. Setelah mempertimbangkan keterangan saksi dan fakta-fakta yang ada, hakim kampung menyarankan bahwa emas digantikan tanah atau wilayah kekuasaan. Jika tidak ada solusi seperti itu maka tidak ada yang mau, keturunan Penguasa Laghontoghe bisa terus mengungkitnya. 

Dalam persidangan, pihak Laghontoghe menyatakan  bila diberikan wilayah kekuasaan maka tidak akan ribut-ribut lagi. Penguasa Rete setuju dengan keputusan itu untuk melepas sebagian wilayah kekuasaan sebagai pengganti emas. “Biarlah dia ambil itu yang penting mereka tidak ungkit saya,” ucap La De Pana selaku Penguasa Rete. Merekapun sepakat. Tanah wilayah kekuasaan itu jadi tempat tinggal keturunan Penguasa Laghontoghe. 

Usai menerima keputusan hakim itu, penguasa Rete ikhlas dan Penguasa Laghontoghe sudah tidak mencari-cari lagi ganti perhiasan.

Tanah kekuasaan yang diberikan itu mulai dari daerah Rahiya, Wanambo, Taburaha Badili, Lamorende, Bhake Ngkolima, Kantaburao, Morodapuno, Kansopano Labili, Kapando-Pando, Kalandea, Buntou Bhalano,  Labasa, Watano Fafa, sampai di Wakuru. Konon semua wilayah yang ada di Muna itu merupakan pengganti perhiasan emas. 

***

Sumber foto: pixabay.com.

Wa De Kokanda dan La Tandakire tidak dapat hidup tenang. Perhiasan yang mereka bawa habis untuk membiayai pelarian mereka dari kampung ke kampung. Lama kelamaan, sekujur tubuh mereka pun mulai mengalami perubahan bentuk. Mereka mulai menyerupai hewan melata. Karena perubahan itu, mereka berdua tak lagi berani bertemu orang-orang. Semakin lama, tubuh mereka akhirnya menjadi buaya seutuhnya. Mereka juga mulai tak saling memperdulikan. 

Pasangan ini tidak memiliki anak dan akhirnya berpisah. Wa De Kokanda pergi menetap di kali Wabuaya yang berada di wilayah Wasolangka sedangkan La Tandakire menetap di kali Wawomata.

Di Kali Wawomata, Buaya Latandakire melintas sesuai datangnya angin barat dan angin timur sampai rumput tumbuh di punggungnya. Bila angin timur ia menuju ke arah terbenamnya matahari  dan bila angin barat ia menuju sebelah terbitnya matahari. Sering pula ia disebut rumput berjalan. 

Sementara Wa De Kokanda menjadi buaya jadi-jadian yang bisa berubah wujud jadi manusia. makanannya manusia. Kadang ia datang ke rumah warga ketika hujan rintik-rintik.

Wa De Kokanda: “Kalian sedang bikin apa penghuni rumah?” (kata Wa De Kokanda bila datang berkunjung).

Penghuni rumah: “apa juga kita mau bikin”.

Wa De Kokanda: “ada apinya kalian?”.

Penghuni rumah: “iya ada apinya kita”.

Wa De Kokanda: “mari dengan saya apinya kalian”.

Apabila yang datang memberi api itu adalah anak-anak, maka Wa De Kokanda akan langsung membawanya pergi untuk dimangsa. Oleh karena itu, di Muna ada larangan bahwa bila ada tamu yang datang meminta api harus orang tua yang menyambut. 

Setiap kali membunuh orang, Wa De Kokanda menelan sebiji batu untuk menandai orang yang telah dimangsanya. Dikisahkan akhir hayat Wa De Kokanda   dibunuh oleh lelaki asal Wajo. Dalam tubuh buaya Wa De Kokanda ditemukan 44 biji batu. (*)


Penulis: Muhamad Taslim Dalma