Cerita rakyat Kenta Wandiudiu yang dituturkan dalam masyarakat Muna mirip cerita Putri Duyung (sepotong ikan sepotong manusia) yang juga menjadi cerita rakyat maupun dongeng di daerah lain, bedanya dalam cerita Rakyat Muna diceritakan manusia berubah secara perlahan dan pada akhirnya menjadi ikan secara utuh.
Baca juga: Cerita Rakyat Muna: Pasangan Kawin Lari Berubah Jadi Buaya (Bagian-1)
Cerita tentang Kenta Wandiudiu juga ada dalam masyarakat Buton, tentu dengan versi masing-masing. Kendari demikian, antara cerita Kenta Wandiudiu yang ada di Buton dan di Muna memiliki sejumlah kemiripan, misalnya alur ceritanya dan nama tokoh-tokohnya.
Cerita rakyat di Muna cukup sulit ditemukan. Kalaupun ada cerita rakyat, masyarakat sudah tidak mampu menceritakannya secara lengkap. Cerita rakyat hanya dapat diceritakan sebagian-sebagian. Butuh kerja lebih untuk mendapatkan narasumber yang dapat bercerita secara utuh.
Sejumlah data yang ditemukan cerita rakyat di Muna mampu dilafalkan dengan baik oleh kalangan generasi tua. Isi ceritanya tentang kisah-kisah berbalut mitos yang terjadi di masa lalu. Sumber ceritanya anonim, atau tidak ditahu siapa yang membuat cerita itu. Cerita diturunkan dari generasi ke generasi melalui tradisi lisan.
Berikut kisahnya:
Pada zaman dahulu kala ada manusia yang menjadi ikan, namanya Wandiudiu. Pada mulanya Wandiudiu ini tinggal dengan suaminya, mereka tinggal tidak jauh dari laut. Anak mereka ada dua orang, yang kakak bernama Wanturuoleo dan sang adik Lambotabota. Wanturuoleo sudah agak besar karena sudah bisa menggendong Labhotabhota yang masih kecil. Namun demikian, dalam keluarga itu, sang suami berlaku keras dengan sering memukul istrinya, Wandiudiu. Karena sudah tidak tahan lagi dan sakit hati, Wandiudiu memilih meninggalkan rumah, ia langsung pergi loncat ke laut. Namun ia tidak mati dan terus mengapung di permukaan air. Lama kelamaan sisik ikan melekat di tubuh Wandiudiu, hingga iapun berisisik sama seperti ikan. Ia berubah menjadi sepotong ikan sepotong manusia, mulai berekor di bagian bawahnya. Ia juga sudah tidak makan nasi, tapi makan ikan mentah seperti kehidupan ikan laut lainnya.
Cerita tentang Kenta Wandiudiu juga ada dalam masyarakat Buton, tentu dengan versi masing-masing. Kendari demikian, antara cerita Kenta Wandiudiu yang ada di Buton dan di Muna memiliki sejumlah kemiripan, misalnya alur ceritanya dan nama tokoh-tokohnya.
Cerita rakyat di Muna cukup sulit ditemukan. Kalaupun ada cerita rakyat, masyarakat sudah tidak mampu menceritakannya secara lengkap. Cerita rakyat hanya dapat diceritakan sebagian-sebagian. Butuh kerja lebih untuk mendapatkan narasumber yang dapat bercerita secara utuh.
Sejumlah data yang ditemukan cerita rakyat di Muna mampu dilafalkan dengan baik oleh kalangan generasi tua. Isi ceritanya tentang kisah-kisah berbalut mitos yang terjadi di masa lalu. Sumber ceritanya anonim, atau tidak ditahu siapa yang membuat cerita itu. Cerita diturunkan dari generasi ke generasi melalui tradisi lisan.
Berikut kisahnya:
Pada zaman dahulu kala ada manusia yang menjadi ikan, namanya Wandiudiu. Pada mulanya Wandiudiu ini tinggal dengan suaminya, mereka tinggal tidak jauh dari laut. Anak mereka ada dua orang, yang kakak bernama Wanturuoleo dan sang adik Lambotabota. Wanturuoleo sudah agak besar karena sudah bisa menggendong Labhotabhota yang masih kecil. Namun demikian, dalam keluarga itu, sang suami berlaku keras dengan sering memukul istrinya, Wandiudiu. Karena sudah tidak tahan lagi dan sakit hati, Wandiudiu memilih meninggalkan rumah, ia langsung pergi loncat ke laut. Namun ia tidak mati dan terus mengapung di permukaan air. Lama kelamaan sisik ikan melekat di tubuh Wandiudiu, hingga iapun berisisik sama seperti ikan. Ia berubah menjadi sepotong ikan sepotong manusia, mulai berekor di bagian bawahnya. Ia juga sudah tidak makan nasi, tapi makan ikan mentah seperti kehidupan ikan laut lainnya.
Lambhota-bhota yang masih kecil dijaga dan diarawat oleh Wanturuoleo, mereka tinggal dengan bapaknya. Suatu ketika Wanturuoleo sambil menggendong Lambhota-bhota pergi memanggil Wandiudiu di pinggir pantai. “Ibu, Wandiudiu ayo datang menyusui Lambhota-bhota, ini saya Wanturuoleo,” panggil Wanturuoleo. Datanglah Wandiudiu dengan suasana awan menggelayut, diambilnya Lambhota-bhota lalu disusui. Sesudah menyusui, ia menjanji “kira-kira kapan lagi itu, sama seperti yang sekarang jam-jam seperti ini, bawa lagi di sini adikmu saya susui,” ucap Wandiudiu. Setelah itu, Wandiudiu pergi kembali ke laut dan Wanturuoleo dengan Lambhota-bhota kembali ke rumahnya. Usai kejadian itu, Wanturuoleo dan adiknya lebih sering datang bertemu tetapi tanpa sepengetahuan ayah mereka. Setiap kali datang Wandiudiu selalu berhati-hati agar jangan sampai ditangkap oleh suaminya, dipeluk, atau diapa-apakan. Selalu ia menyusui anaknya di pinggir pantai, tepat garis pantai dan laut. Awal menyusui, Wandiudiu masih bisa naik ke daratan namun lama kelamaan ia sudah tidak bisa lagi, ia hanya bisa sampai diujung tepi air laut. Karena kondisinya sudah seperti itu, Wanturuoleo bantu saling pegang dengan Wandiudiu untuk menyusui Lambhotabhota.
Setelah sekian lama, Wandiudiu sudah penuh dengan sisik ikan bahkan sudah sampai di payudaranya sehingga sudah tidak bisa lagi menyusui. Meskipun dipanggil, ia sudah tidak datang lagi. Karena demikian maka Wanturuoleo dan Lambhota-bhota sudah tidak datang lagi, dan sudah tidak mempedulikan lagi. Wandiudiu juga pergi semakin jauh ke laut yang lebih besar. (***)
Penulis: Muhamad Taslim Dalma