Kasoami/Katula, kuliner khas asal Sulawesi Tenggara |
Masyarakat Pulau Buton dan Wakatobi menyebutnya “Kasoami” sedangkan penamaannya pada masyarakat Muna adalah “Katula”. Kasoami dan Katula tidak memiliki perbedaan sama sekali mulai dari bentuk, cara memasak, dan bahan yang digunakan.
Tipikal Masyarakat di kepulauan itu yang (senang-cari hidup) merantau di provinsi lain bahkan luar negeri semisal Malaysia pastilah akan selalu rindu dengan Kasoami. Tentu bukan hal mudah menemukan Kasoami di daerah rantau dengan cita rasa khas bumi Sulawesi.
Kasoami yang sudah dikemas. Banyak dijajakan di pasar-pasar tradisional. |
Padatan tersebut berwarna putih bersih (warna dasar ubi kayu) dan berbentuk lingkaran dengan diameter sekira 30 Cm serta ketebalan 5 sampai 6 Cm. Padatan lalu dibungkus dengan daun pohon jati atau daun pisang dan diikat. Bahan dasar inilah yang disebut Kagepe (penyebutan Buton-Wakatobi) alias Kaopi (Muna) yang banyak dijual di pasar-pasar lokal setempat.
Bahan ini tidak bisa langsung dimakan karena harus dimasak terlebih dahulu dengan berbagai macam sajian. Kagepe selain digunakan untuk bahan dasar membuat Kasoami, juga biasanya diolah menjadi kuliner khas lainnya seperti Onde-Onde, Sanggara Bandar (pisang goreng warna-warni), kerupuk, dan lainnya.
Tata cara membuat Kasoami masih sangat tradisional. Awalnya Kagepe diremas-remas dengan tangan sampai menyerupai tepung. Lalu bahan tersebut diamasukkan dalam alat kukus yang sangat unik, berbentuk kerucut (kurang lebih sama dengan tumpeng). Alat dengan volume sekirtar 1 liter ini terbuat dari anyaman daun kelapa.
Untuk mengukusnya tidak menggunakan panci biasa namun dengan periuk yang terbuat dari tanah liat (mirip sebuah guci). Mulut periuk tersebut dimasukan alat kerucut yang telah berisi tepung kagepe. Lalu dimulailah proses pemasakan dengan api sedang dan volume air (sedang) dalam periuk yang tak sampai bersentuhan ujung kerucut.
Kasoami yang siap santap (setelah proses pemasakan) memiliki banyak jenis, ada kasoami putih (biasa), kasoami pepe, kasoami campur gula merah, dan masih banyak lagi jenisnya. Semua berasal dari bahan yang sama yakni ubi kayu.
Salah satu jenis Kasoami. Namanya Kasoami Pepe. |
Mengenai tingkat ketahanannya, Kasoami hanya dapat bertahan dua sampai tiga hari, tergantung medium penyimpanannya. Jika disimpan secara terbuka makanan ini akan cepat terasa kecut dan mengeras dan lama kelamaan akan berjamur.
Karena keawetannya yang terbilang pendek, Kasoami ini jarang dijadikan oleh-oleh. Maka dari itu, makanan ini tidak akan ditemukan di toko oleh-oleh khas Sulawesi Tenggara. Makanan ini biasanya jadi bekal yang dalam perjalanan jauh dan sering jadi bekal bagi nelayan yang pergi melaut.
Hidangan Kasoami Pepe |
Namun demikian, bagi Anda yang ingin menjadikan Kasoami sebagai oleh-oleh tidak ada salahnya untuk dicoba karena banyak di jual di pasar-pasar tradisional. Harganya terbilang murah, sekira Rp. 5 ribu per satu Kasoami (harga per April 2017) dan bisa lebih murah dari itu.
Sebelum makanan pokok nasi (beras) populer seperti zaman sekarang ini, Kasoami dahulu (sebelum tahun 2000-an) merupakan makanan pokok sehari-hari untuk wilayah Wakatobi, dan sebagian kepulauan Buton. Istilahnya tiada hari tanpa kasoami seperti orang barat yang tiada hari tanpa roti gandum. Kasoami jadi sajian utama di meja makan mulai dari makan siang sampai makan malam, hanya lauk pauknya berganti-ganti, sesuai selera masyarakat.
Hal itu, berbeda dengan masyarakat di Pulau Muna yang lebih mengandalkan Kambuse (jagung) sebagai makanan pokoknya, Katula hanya selingan. Kondisi demikian yang cenderung berbeda terbilang wajar sebab beberapa jenis singkong tumbuh subur di kepulauan daratan Wakatobi dan sebagian pulau Buton meskipun tanahnya berbatu-batu. Sementara di daratan Pulau Muna, yang tumbuh subur dan jadi primadona masyarakat adalah tanaman jagung.
Penulis : Muhamad Taslim Dalma