Cerita Rakyat Muna: Pasangan Kawin Lari Berubah Jadi Buaya (Bagian-2)

JENDELASULTRA.BLOGSPOT.COM– Pria yang menculik Wa De Kokanda tidak lain adalah kekasihnya sendiri, bernama La Tandakire. Mereka telah menjalin hubungan asmara sejak sebelum Wa De Kokanda ikut Karia. 

Baca artikel sebelumnya: Cerita Rakyat Muna: Pasangan Kawin Lari Berubah Jadi Buaya (Bagian-1)

Rupanya Wa De Kokanda dan La Tandakire melakukan kawin lari. La Tandakire tidak cukup berani untuk melamar setelah selesai acara Karia. Apalagi mereka berasal dari kalangan berbeda, putri penguasa dan pria biasa dari kalangan bawah yang miskin. Berpikir tak ada jalan lain, maka La Tandakire menjalankan aksinya dengan membawa pergi Wa De Kokanda. Mereka membawa serta perhiasan emas tujuh belanga yang dipakai Wa De Kokanda. 

Peristiwa itu membuat heboh seisi kampung dan jadi bahan cerita di mana-mana. Mereka tak menyangka, putri tersebut mau diajak kawin lari. La De Pana sendiri merasa sangat kesal bercampur sedih. Sebab selain memang Wa De Kokanda anak kesayangannya, belum lagi ia memikirkan perhiasan emas milik kakaknya.

Sebagai penguasa ia hanya bisa meminta semua orang pergi mencari putrinya itu. Warga satu kampung sampai kelelahan mencari berhari-hari, keliling di mana-mana tapi tidak menemukan pasangan itu. 

Wa De Kokanda dengan La Tandakire terus bersembunyi dalam hutan. Sampai seterusnya pasangan kawin lari itu tidak kelihatan. Sedangkan perhiasan emas yang dibawanya juga tidak dikembalikan. Emas inilah yang jadi persoalan dan hampir menjadi biang konflik antara kakak-adik Penguasa Rete dan Penguasa Laghontoghe.

Untuk mencegah konflik besar antar dua kampung, maka jalannya adalah tradisi musyawarah. Perangkat Kampung Laghontoghe dan Perangkat Kampung Rete bertemu untuk mufakat tapi tidak ada titik temu karena Penguasa Rete tidak memiliki uang  untuk mengganti perhiasan emas tujuh belanga. Dalam musyawarah itu disimpulkan, meskipun Ki’no Laghontoghe dan Ki’no Rete adalah kakak beradik namun perhiasan emas harus digantikan.

Musyawarah demi musyawarah digelar namun tetap tak ada titik temu sedangkan Wa De Kokanda dan perhiasan emas tak kunjung kembali. Lama kelamaan Penguasa La Ghontoghe berbicara “Sudah lelah juga saya berak di lubang batu, saya akan coba berak di batang kayu,”. Perkataan itu sebagai tanda bahwa penyelesaian sengketa harus lanjut ke tahap selanjutnya yaitu pengadilan kampung.

Masalah itu kemudian dibawa ke hakim kampung bernama La Salama untuk menyelesaikannya. Jalan ini merupakan jalan terakhir yang tak dapat lagi diganggu gugat. Setelah mempertimbangkan keterangan saksi dan fakta-fakta yang ada, hakim kampung menyarankan bahwa emas digantikan tanah atau wilayah kekuasaan. Jika tidak ada solusi seperti itu maka tidak ada yang mau, keturunan Penguasa Laghontoghe bisa terus mengungkitnya. 

Dalam persidangan, pihak Laghontoghe menyatakan  bila diberikan wilayah kekuasaan maka tidak akan ribut-ribut lagi. Penguasa Rete setuju dengan keputusan itu untuk melepas sebagian wilayah kekuasaan sebagai pengganti emas. “Biarlah dia ambil itu yang penting mereka tidak ungkit saya,” ucap La De Pana selaku Penguasa Rete. Merekapun sepakat. Tanah wilayah kekuasaan itu jadi tempat tinggal keturunan Penguasa Laghontoghe. 

Usai menerima keputusan hakim itu, penguasa Rete ikhlas dan Penguasa Laghontoghe sudah tidak mencari-cari lagi ganti perhiasan.

Tanah kekuasaan yang diberikan itu mulai dari daerah Rahiya, Wanambo, Taburaha Badili, Lamorende, Bhake Ngkolima, Kantaburao, Morodapuno, Kansopano Labili, Kapando-Pando, Kalandea, Buntou Bhalano,  Labasa, Watano Fafa, sampai di Wakuru. Konon semua wilayah yang ada di Muna itu merupakan pengganti perhiasan emas. 

***

Sumber foto: pixabay.com.

Wa De Kokanda dan La Tandakire tidak dapat hidup tenang. Perhiasan yang mereka bawa habis untuk membiayai pelarian mereka dari kampung ke kampung. Lama kelamaan, sekujur tubuh mereka pun mulai mengalami perubahan bentuk. Mereka mulai menyerupai hewan melata. Karena perubahan itu, mereka berdua tak lagi berani bertemu orang-orang. Semakin lama, tubuh mereka akhirnya menjadi buaya seutuhnya. Mereka juga mulai tak saling memperdulikan. 

Pasangan ini tidak memiliki anak dan akhirnya berpisah. Wa De Kokanda pergi menetap di kali Wabuaya yang berada di wilayah Wasolangka sedangkan La Tandakire menetap di kali Wawomata.

Di Kali Wawomata, Buaya Latandakire melintas sesuai datangnya angin barat dan angin timur sampai rumput tumbuh di punggungnya. Bila angin timur ia menuju ke arah terbenamnya matahari  dan bila angin barat ia menuju sebelah terbitnya matahari. Sering pula ia disebut rumput berjalan. 

Sementara Wa De Kokanda menjadi buaya jadi-jadian yang bisa berubah wujud jadi manusia. makanannya manusia. Kadang ia datang ke rumah warga ketika hujan rintik-rintik.

Wa De Kokanda: “Kalian sedang bikin apa penghuni rumah?” (kata Wa De Kokanda bila datang berkunjung).

Penghuni rumah: “apa juga kita mau bikin”.

Wa De Kokanda: “ada apinya kalian?”.

Penghuni rumah: “iya ada apinya kita”.

Wa De Kokanda: “mari dengan saya apinya kalian”.

Apabila yang datang memberi api itu adalah anak-anak, maka Wa De Kokanda akan langsung membawanya pergi untuk dimangsa. Oleh karena itu, di Muna ada larangan bahwa bila ada tamu yang datang meminta api harus orang tua yang menyambut. 

Setiap kali membunuh orang, Wa De Kokanda menelan sebiji batu untuk menandai orang yang telah dimangsanya. Dikisahkan akhir hayat Wa De Kokanda   dibunuh oleh lelaki asal Wajo. Dalam tubuh buaya Wa De Kokanda ditemukan 44 biji batu. (*)


Penulis: Muhamad Taslim Dalma