Sungai Wanggu Tercemar, Kalandue (Kerang Bakau) di Antara Harapan dan Ancaman

Kerang Kalandue atau Lebih Tepatnya Kerang Bakau (Polymesoda Sp.). Foto: Dok. Penulis
JENDELASULTRA.BLOGSPOT.COM, KENDARI - Kerang kalandue atau lebih tepatnya kerang bakau (Polymesoda Sp.)  merupakan salah satu jenis kerang yang habitatnya di Sungai Wanggu.  Kondisi Sungai Wanggu yang mulai tercemar dengan penurunan kualitas air dikhawatirkan  jenis kerang ini dapat mengancam kesehatan yang mengkonsumsinya. Di samping itu, kerang ini merupakan harapan warga Kota Kendari karena menjadi bahan makanan yang digemari dan sumber penghasilan bagi ratusan pencari maupun penjual kerang.

Sungai Wanggu terletak di Satuan Wilayah Sungai (SWS) (Lasolo-Sampara) di wilayah Kabupaten Konawe Selatan dan Kota Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra). Sebagian besar daerah aliran sungai (DAS) Wanggu berada pada daerah pemukiman penduduk, tambak dan areal pertanian. DAS Wanggu  seluas wilayah 32.389 hektar membentang dari pegunungan Boroboro, Wolasi hingga Teluk Kendari.

Kerang Kalandue banyak terdapat di sekitar pohon bakau (mangrove) di wilayah muara sungai Wanggu (antara jembatan pasar baru dan Teluk Kendari). Berdasarkan pantauan langsung di lokasi banyak pohon bakau juga sudah banyak ditebang karena lahan yang beralih fungsi jadi perumahan dan tambak ikan. Selain itu, Muara sungai itu juga mulai tercemar oleh aktifitas sepanjang wilayah DAS sungai Wanggu yang semakin kompleks. Alhasil, kualitas air menurun drastis. Kalandue tidak lagi sepenuhnya menjadi sumber pangan yang bergizi tinggi. Justru berbalik menjadi kuliner yang dapat membahayakan kesehatan.

Ancaman bagi pengkonsumsi kalandue ada sejak tahun 2006 yakni dengan temuan pencemaran berat bahan kimia merkuri (Hg) dalam kerang kalandue. Hal itu berdasarkan hasil penelitian Muhtar Kumkelo  yang saat itu menjabat Direktur Lembaga Kajian Advokasi Kesehatan dan Lingkungan Sultra. Dia menganalisa kandungan merkuri dan cadmium pada beberapa sampel kerang bakau (kalandue) dan sedimen tanah.

Sampel kerang yang diambil termasuk kerang di wilayah muara sungai Wanggu dan 4 titik lokasi yang seluruhnya di teluk kendari. Sampel itu kemudian diteliti di laboratorium Balai Besar Budidaya Air Payau Maros, Makassar, Sulawesi Selatan. Berdasarkan hasil analisis kandungan merkuri pada semua kerang yang dijadikan sample diperoleh data kandungan merkuri berada diantara 0,5371 ppm – 0,7180 ppm, sedangkan pada sediment antara 0,39 sampai 1,47. Angka ini menurut Muhtar  berada di atas ambang standar kandungan merkuri pada biota laut yang ditetapkan WHO yakni sebesar 0,005 ppm.

Menurut Muhtar jumlah kandungan kimia pada kerang di tahun 2015 ini sudah dipastikan akan bertambah seiring pencemaran yang terus meningkat. “Dari data kami pada saat itu sejak tahun 1970 sampai 1990, jenis kerang wilayah teluk Kendari dan sekitarnya banyak sekali berkurang akibat pencemaran, yang bertahan hanya kerang bakau atau biasa disebut kalandue karena dia mampu bertahan dari limbah biologi dan kimia,” kata Muhtar Kumkelo saat dihubungi melalui telepon selulernya di Ambon, Sabtu (9/5/2015).

Pengamat lingkungan La Ode Alwi mengatakan pencemaran sungai Wanggu secara fisik sudah masuk kategori berat. Hal Ini dilihat dari warna airnya yang keruh berwarna kekuningan dan banyaknya sampah yang berserakan di sepanjang aliran sungai. Sedangkan pencemaran secara kimia di wilayah muara sungai Wanggu menurutnya masih dalam tingkatan sedang berdasarkan Status Lingkungan Hidup (SLHD)  Kota Kendari tahun 2014.

Ancaman membahayakan mengkonsumsi kerang menurut Alwi bukan saja dari logam berat yang dikandungnya tapi juga dari bakteri ecoli. Hal ini dikarenakan banyak pembuangan Water Closed (WC) warga tidak memiliki septi tank (bak penampung) melainkan langsung ke Sungai Wanggu. Dengan begitu maka kerang yang ada di sungai ataupun sekitar muara sungai Wanggu  akan mengancam kesehatan warga Kota Kendari yang mengkonsumsinya.
Sampah Tampak Berserakan di Aliran Sungai Wanggu. Foto: Dok. Penulis

Dikatakan Alwi kalandue akan tumbuh subur dengan kandungan yang tidak layak konsumsi. Bahan organik, logam, dan bakteri yang mengendap di dasar sungai akan bercampur menjadi humus. Sifat kalandue yang sangat senang dengan humus akan tinggal didalamnya. Kerang itu kata Alwi seperti penyedot debu akan menghisap apa saja yang didekatnya, termasuk logam berat. Di dalam tubuh kerang, logam tersebut dimanipulasi kerang untuk pertumbuhan kerang itu, sehingga konsentrasinya di dalam organisme tersebut makin lama makin tinggi.

“Kerang tidak menderita efek apapun dan tidak akan mempengaruhi laju pertumbuhannya, namun tidak demikian dengan manusia. Penumpukan logam berat karena sering mengkonsumsi kerang yang mengandung logam berat akan membahayakan kesehatan,” kata Alwi di Kendari, Minggu (26/4/2015).

Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Sultra juga belum pernah melakukan uji logam berat terhadap kalandue maupun hasil olahannya. Kepala BPOM Sultra Adilah Pababbari beralasan masih ada pihak yang lebih berwenang melakukan pengujian dan publikasi aman atau tidaknya kerang itu dikonsumsi.

“Jika benar kalandue yang dikonsumsi mengandung logam berat maupun merkuri maka dapat mengakibatkan penyakit kanker. Bukan hanya itu, kondisi perairan yang tercemar bisa saja dalam biota airnya mengandung bakteri berbahaya seperti ecoli,” kata Adilah di ruang kerjanya, Kamis (30/4/2015).

Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sultra Kisran Makati mengatakan saat ini belum ada kajian maupun hasil penelitian terbaru tentang aman atau tidaknya mengkonsumsi kerang di sekitar muara sungai Wanggu. “Mengenai cemaran logam berat seperti merkuri yang larut di air dan mengendap sudah banyak ditemukan bukan saja di sekitar muara sungai Wanggu namun juga di sejumlah titik lainnya di teluk Kendari,” Kata Kisran di Kendari, Minggu (17/5/2015).

Olehnya kata Kisran untuk menindaklanjuti dugaan kerang yang mengandung logam berat pihaknya tahun ini (2015) akan mengajak sejumlah pihak terkait seperti akademisi Universitas Halu Oleo (UHO) maupun Badan Lingkungan Hidup (BLH) untuk meninjau aman tidaknya kerang kalandue dikonsumsi warga. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang (UU) Lingkungan Hidup nomor 32 tahun 2009 bagian kedua Pasal III huruf B yakni perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bertujuan  menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia.

Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Sultra Supiati mengakui hasil penelitian yang dilakukan oleh Muhtar Kumkelo pernah diverifikasi dan dilakukan uji lebih lanjut terhadap kandungan logam berat sesuai titik lokasi penelitian Muhtar, namun pihaknya tidak menemukan adanya kandungan merkuri pada air dan sedimen. Sementara untuk kandungan merkuri maupun logam berat dalam kerang tidak ditindaklanjuti pada saat itu karena memang bukan domain BLH.

“Saat itu juga ditindaklanjuti setelah ada informasi dari Muhtar Kumkelo itu kita lakukan kajian dan hasilnya tidak ada pencemaran merkuri di perairan teluk Kendari, kalaupun ada pada kerang itu juga diragukan karena harus dilihat dulu laboratorium tempat itu diteliti terakreditasi atau tidak, karena kalau tidak itu disanksikan kebenarannya,” kata Supiati saat ditemui di ruang kerjanya, Senin (18/5/2015).

Supiati juga membantah pernyataan jika saat ini ada cemaran merkuri di perairan teluk Kendari maupun sungai Wanggu. Menurutnya untuk menentukan itu harus di laboratorium yang terkreditasi. Dia juga meragukan data yang ada di Walhi karena seharusnya jika ada temuan harus disambaikan ke BLH untuk diverifikasi.

Berdasarkan Status Lingkungan Hidup (SLHD) Kota Kendari tahun 2014 kualitas air sungai-sungai utama (termasuk sungai Wanggu) yang mengalir di  wilayah Kota Kendari juga telah banyak yang menurun karena terkontaminasi dengan limbah padat dan polutan limbah rumah tangga.  Pemantauan kualitas air di 5 sungai utama yang terdapat di wilayah Kota Kendari dalam kurun waktu tahun 2013 dan tahun 2014 sudah tidak lagi memenuhi kriteria mutu air kelas I (untuk keperluan air konsumsi). Parameter pantauannya seperti DO (Dissolved Oxygen), BOD (Biochemical Oxygen Demand), COD (Chemical Oxygen Demand), PO4 (Fosfat), fecal coli dan total coliform sebagian besar hanya memenuhi kriteria mutu air kelas II berdasarkan PP 82 Tahun 2001.
Penebangan Pohon Bakau (Mangrove) di Wilayah Muara Sungai Wanggu. Di Sekitar Pohon Tersebut Banyak Terdapat Kalandue (Kerang Bakau), Minggu (10/5/2015). Foto: Dok: Penulis
Sementara itu Kepala BLH Kota Kendari Rusnani mengaku terkejut jika cemaran sungai Wanggu juga mempengaruhi kerang kalandue yang hidup di situ. Dikatakannya sampai saat ini belum ada informasi maupun hasil penelitian terbaru mengenai aman atau tidak mengkonsumsi kerang dari muara sungai Wanggu.

“Harus ada langkah untuk melakukan kajian maupun penelitian terhadap kerang kalandue itu karena ini menyangkut kesehatan dan keselamatan warga Kota Kendari. Untuk itu kami akan segera mengkordinasikan hal itu ke BLH provinsi Sultra dan sejumlah pihak terkait,” Kata Rusnani di ruang kerjanya, Senin (18/5/2015).

Sekretaris Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sultra La Ode Ridwan mengatakan terlalu jauh tahun 2006 jika dijadikan rujukan aman atau tidaknya kerang kalandue. Namun demikian pihaknya belum pernah melakukan uji terhadap kerang itu dengan alasan tidak pernah ada yang mengeluh tentang dampak logam berat yang dikandung kerang.

“Tapi jika memang kajian kandungan logam dalam kerang itu diperlukan maka kami akan uji kalandue di sekitar sungai Wanggu sesuai dengan program kerja. Pada 2006 itu juga perlu dilihat fenomena apa yang ada, bisa saja saat itu pengunaan bakan kimia memang sedang tinggi, namun saat ini secara umum dipastikan aman karena belum ada komplain dari warga,” kata Ridwan di kantornya, Kamis (21/5/2015).

Kepala Balai Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan Provinsi Sultra Agustinus Misi mengatakan kerang-kerangan di Kota Kendari memang tidak pernah diuji sejak tahun 1980. Pada tahun itu kerang dari Kota Kendari sempat diekspor namun tanpa uji logam karena pengawasannya yang masih kurang. Di tahun-tahun berikutnya kerang tidak diekspor lagi tanpa alasan yang jelas.

Untuk melakukan pengujian kandungan kerang kalandue saat ini belum bisa dilakukan karena mesin uji sedang rusak. Dikatakan Agustinus kemungkinan pada akhir tahun baru bisa dilakukan uji. “Selama ini tidak pernah dilakukan uji karena tidak ada perusahaan yang menjadikan kerang kalandue sebagai produk jual dan tidak ada keluhan dari warga Kendari yang mengeluhkan kalandue,” kata Agustinus di ruang kerjanya, Kamis (21/5/2015).
 
Menyinggung perbedaan kerang yang mengandung logam berat dan yang tak mengandung logam berat, hal itu tidak bisa dilihat dari bentuk kerang. Untuk sementara kata Agustinus sebelum ada kajian lebih lanjut tentang aman atau tidaknya kerang Kalandue maka warga yang mengkonsumsi itu disarankan memilih kalandue yang jelas asal-usulnya dan haruslah diolah dengan benar.

Agustinus bercerita kasus besar yang menggemparkan dunia pernah terjadi dengan munculnya penyakit jenis baru bernama penyakit Minamata atau sindrom Minamata. Penyakit ini mendapat namanya dari kota Minamata, Jepang, yang merupakan daerah di mana penyakit ini mewabah mulai tahun 1958. Penyakit itu mengakibatkan kelainan fungsi saraf yang disebabkan oleh keracunan akut merkuri (air raksa) karena mengkonsumsi kerang dan ikan dari teluk Minamata yang tercemar merkuri. Namun demikian, Agustinus enggan bercerita lebih jauh mengenai penyakit itu karena merupakan hal yang sensitif jika diungkapkan apalagi kerang yang ada di wilayah muara sungai Wanggu juga belum ada hasil ujinya.

Alasan Agustinus cukup beralasan karena vonis yang terlalu dini terhadap bahaya Kerang Kalandue asal Sungai Wanggu dapat berdampak besar terhadap kelangsungan hidup ratusan masyarakat Kota Kendari yang menggantungkan penghidupannya dari biota pesisir ini.

Salah seorang pencari kerang Jasrin mengaku permintaan pesanan kalandue cukup tinggi sehingga banyak warga Kota Kendari datang mencari kerang jenis itu. Kerang hasil pencarian mereka di jual ke pengepul dan ada juga yang dikonsumsi sendiri.

“Ketika air surut kami mulai turun mencari kalandue setiap harinya, sekarang ini agak sulit dapatnya karena banyak saingan pencari kalandue, jadi pandai-pandainya saja kita mencari tempat yang bagus,” kata Jasrin sambil menenteng karung berisi kalandue, Jum’at (8/5/2015).

Salah seorang ibu bernama Eti mempunyai jadwal tersendiri untuk mencari kalandue yakni setiap hari sabtu dan minggu. Kerang kalandue yang sudah dipisahkan dengan kulitnya dijualnya dengan harga Rp 5.000 per  mangkuk sabun. “Lumayan buat tambah-tambah penghasilan, kalo beruntung bisa dapat 50 sampai 100 ribu rupiah,” kata Eti, Minggu (10/5/2015).
Salah Seorang Pencari Kalandue / Kerang Bakau (Polymesoda Sp.), Minggu (10/5/2015). Foto: Dok. Penulis
Eti mengungkapkan pertama kali mencari kalandue tahun 1997 dengan jumlah yang melimpah ruah di sekitar muara sungai Wanggu (yang jadi wilayah pencarian mereka). Namun kini kata Eti jumlah kalandue dirasanya mulai berkurang diantaranya karena lahan di sekitar sungai itu yang mulanya berupa hutan bakau dijadikan tambak ikan.

Sementara itu, Salah seorang penjual sekaligus pencari kerang di wilayah muara sungai Wanggu, Kaimuddin mengatakan tidak tahu aman atau tidak kalandue yang di sekitar muara sungai Wanggu. Dia hanya tahu mencari kalandue dan menjualnya. Kalaupun membahayakan menurutnya belum pernah ada konsumen yang mengeluhkan kerang yang dijualnya.

“Saya biasanya turun cari sendiri di sekitar bakau sungai Wanggu, hanya saja jumlahnya sekarang sudah mulai berkurang kalandue yang didapat. Jadi harus cari di tempat lain juga. Kalau masalah laris atau tidak, ya, kadang laku kadang juga tidak,” kata Kaimuddin yang membuka lapak jualannya tidak jauh dari muara sungai Wanggu, Minggu, (24/5/2015).


Penulis: Muhamad Taslim Dalma (Jurnalis ZonaSultra.Com)