JENDELASULTRA.BLOGSPOT.COM – Alkisah di suatu kampung di Pulau Muna, ada seorang gadis bernama Wa De Kokanda. Ia adalah putri seorang bangsawan bernama La De Pana, bergelar Ki’no (Penguasa) Rete. Mereka tergolong keluarga terpandang.
Khusus anak perempuan, ada tradisi di kampung itu yaitu adat “Karia” yang wajib diikuti. Karia adalah proses penyucian diri seorang perempuan pada usia jelang dewasa atau jelang menikah. Tanda penyucian ini adalah dengan mengurung (pingit) peserta karia selama berhari-hari dengan makanan yang dibatasi.
Sumber gambar: pixabay.com |
La De Pana telah memiliki anak dan cucu yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Merasa punya tanggung jawab, Penguasa Rete pun membuat acara Karia untuk anak-cucunya. Seisi kampung turut mempersiapkan acara besar yang jarang dilaksanakan ini. Warga kampung datang berbondong-bondong dengan pegangan ayam piaraan dan hasil kebun untuk disumbangkan ke tuan rumah. Kaum laki-laki di wilayah kekuasaannya terlibat mempersiapkan mulai dari pengambilan bambu dan kayu untuk rangka bangsal hingga pendirian bangsal. Beberapa lainnya mengurus gendang dan gong untuk hiburan selama pingitan. Sementara kaum perempuan menyiapkan hidangan makanan untuk keluarga tuan rumah dan warga yang bekerja.
Acara Karia pun dimulai, yang pembukaannya dihadiri para tokoh adat, tokoh agama, dan penguasa di kampung itu. Pembukaan ini juga dihadiri oleh banyak masyarakat yang datang sebagai tanda penghargaan terhadap pemimpin juga sekaligus sebagai hiburan. La De Pana dan keluarga merasa terhormat bisa menyelenggarakan acara yang besar ini. Mereka menyambut dengan senyum setiap yang datang dan perbincangan hangat tampak sepanjang pembukaan acara.
Gendang dan gong dibunyikan dengan nada dan irama yang khas, bertalu-talu sebagai tanda dimulainya acara. Selama tahapan karia, gendang terus ditabuh, gong terus dipukul siang malam. Ini untuk menghibur peserta karia yang sedang dikurung agar mereka merasa bahwa siang malam mereka dijaga dan tak ditinggalkan.
Dalam karia, ada tahap “Kafosampu” yang artinya “penurunan”, turun dari kurungan. Dalam tahap ini, peserta dipakaikan pakaian adat yang terang dan perhiasan. Hiasan lainnya adalah miniatur kapal yang dipasangi lilin. Kemewahan tampak pada peserta yang menjalani Kafosampu ini.
Namun saat hendak penurunan, Wa De Kokanda tidak memiliki perhiasan emas untuk dipakai. Penguasa Rete pun berupaya keras, agar putrinya bisa tampil maksimal di hadapan masyarakat kampung yang akan hadir menonton. Karena tak ada jalan lain, ia akhirnya meminjam ke kakaknya bernama La De Manguntara, yang bergelar Ki’no Laghontoghe. Konon ceritanya, Penguasa Rete dan Penguasa Laghontoghe ini merupakan anak dari Raja Muna Sugimanuru, dan ibu mereka bernama Wa Sarone.
Sebagai seorang kakak, La De Manguntara tak kuasa menolak permintaan adiknya. Apalagi ini, sudah terkait kehormatan keluarga dan memang ada ajaran dalam keluarga untuk saling membantu yang kesusahan. Tak tanggung-tanggung, ia pun meminjamkan perhiasan emas sebanyak tujuh belanga kepada adiknya itu. La De Pana dengan senang hati menerima pinjaman dari kakaknya itu.
Perhiasan itu dipakai Wa De Kokanda untuk “kafosampu” di acara Karia mereka. Anak penguasa ini dihias bak putri raja. Dengan perhiasan emas yang dikenakannya, ia tampil beda dibanding peserta lainnya. Entah bagaimana caranya, ketika turun dari pingitan ada pria yang menculik Wa De Kokanda. (*)
Baca artikel selanjutnya: Cerita Rakyat Muna: Pasangan Kawin Lari Berubah Jadi Buaya (Bagian-2)
Penulis: Muhamad Taslim Dalma