Hilangnya Rumah Pintar untuk Anak-anak Putus Sekolah di Kendari


RUMAH PINTAR KENDARI - Seorang guru bernama Demalewa memberikan pelajaran matematika terhadap peserta didik Rumah Pintar, pada 5 Maret 2016. Dalam ruangan 4 x 6 meter itu tumpukan barang bekas nyaris memenuhi tempat belajar mengajar.
JENDELASULTRA.BLOGSPOT.COM - Rumah Pintar adalah nama sebuah tempat belajar anak-anak putus sekolah di Kota Kendari. Berada  di bengkel sepeda milik Suroto,  jalan Pembangunan nomor 25 A Kelurahan Sanua, Kecamatan Kendari barat, Tepat di depan Madarasah Ibtidayah Negeri  (MIN) Kendari. Jarak antara Rumah Pintar dan madrasah tersebut hanya dibatasi oleh dua ruas jalan raya.

 Di bengkel  pak Suroto itulah kegiatan belajar mengajar berlangsung setiap hari Sabtu. Bengkel tersebut terbagi 2 bilik, satu untuk keluarga Pak Suroto beraktivitas dan satunya lagi dikhususkan untuk ruang kelas.

Pasti tidak ada yang menyangka jika ruang 4x6 meter itu adalah ruang kelas. Lihat saja, tumpukan barang bekas nyaris memenuhi ruangan itu. Bahkan di belakang papan tulis yang menjadi penanda bahwa itu tempat belajar mengajar terdapat sebuah kurungan ayam jago jenis Bangkok.

Suasana belajar anak-anak ini cukup tenang di bilik dengan dua papan tulis itu. Sesekali ada yang bertanya tentang pelajaran  dan sesekali pula harus terhenti sekedar membiarkan ayam jago Suroto melepaskan kokokannya yang parau.

Namun itu semua adalah potret 5 Maret 2016 silam. Pada awal Juni 2020 ini, rumah pintar tersebut sudah lama tak beroperasi. Entah bagaimana kelanjutan dunia pendidikan para anak-anak itu. Pak Suroto pun saat ini fokus mengurusi bengkelnya, bengkel motor.

Guru  Relawan

Pada 2016 lalu, salah seorang guru yang rutin mengajar matematika di Rumah Pintar bernama Demalewa. Dia manjadi guru pegawai negeri sudah 30 tahun dan mengasuh mata pelajaran matematika di SMP Negeri 13 Kendari.

Baginya mengajar di Rumah Pintar merupakan sebuah panggilan hati. Tanpa hitungan jam sertifikasi dan tanpa embel-embel balas jasa lainnya.

Selain dirinya, terdapat beberapa tanaga pengajar lainnya, mulai dari guru bahasa inggris, guru bahasa Indonesia, dan terkadang juga mahasiswa.

 “Biasanya Pak Suroto menelpon, siapa saja yang sempat datang berarti dia yang mengajar. Kadang gurunya sudah hadir tapi anak belum banyak yang terkumpul. Yah Pak Suroto biasanya harus menjemput satu persatu di tempat tinggal anak-anak itu ,” cerita Demalewa, 2016 silam.

Digagas Tukang Bengkel 
Suroto namanya, dengan profesi sebagai tukang bengkel sepeda.  Rambutnya  sudah memutih (Uban), usianya tak lagi muda, 63 tahun (berarti sekarang 67) suatu keadaaan di mana manusia memasuki masa senjanya.  Namun tak disangka di usia yang demikian justru kesadaran tentang pentingnya pendidikan semakin kuat. Pria asal Surabaya ini  mendirikan Rumah Pintar tepat 1  Maret 2015.

Suroto memang pada dasarnya adalah seorang aktivis. Sebelum aktif mengurus Rumah Pintar, dia pernah menjadi Ketua organisasi Gerakan Rakyat Miskin Bersatu (Germis) Kendari selama 8 tahun (2007-2015), sebuah organisasi yang fokus memperhatikan masyarakat miskin.

Ketertarikan Suroto untuk mendirikan kelas belajar bagi anak-anak putus sekolah  mulai muncul ketika aktif di Germis. Hanya saja belum ada yang mau kerja sama untuk mendirikan tempat belajar seperti Rumah Pintar. Pasca aktif di Germis,  dia dekat dengan organisasi Sedekah Jumat Berjamaah (SJB)  yang kegiatan rutinnya setiap hari Jum’at berkeliling sedekah menyalurkan beras, nasi bungkus dan lainnya. Lewat organisasi inilah jadi cikal bakal berdirinya Rumah Pintar.

“Kalau bisa jangan hanya bersedekah tapi kita kumpulkan juga anak-anak yang putus sekolah supaya bagaimana bisa setara dengan anak-anak yang ada di sekolah negeri dan mendapatkan ijazah. Semua sepakat untuk mendirikan sebuah kelas belajar yang di kemudian hari dinamai Rumah Pintar,” ujar Suroto kala itu.

Setelah sepakat dengan SJB, Suroto yang  memang memiliki pengalaman organisasi, mulai mengurus segala dokumen untuk mendirikan sebuah tempat belajar sederhana namun berstatus seperti sekolah pada umumnya. Alhasil, pemerintah memberikan izin penyelenggaraan kesetaraan Paket A dan Paket B.
Pak Suroto adalah tukang bengkel sepeda  yang menggagas Rumah Pintar.

Ketika itu, ia berharap pemerintah bisa memfasilitasi Rumah Pintar sehingga dapat dizinkan membuka kelas untuk paket C (setara SMA). Agar anak-anak didik bisa yang sudah mendapat ijazah paket B bisa tetap bertahan di Rumah Pintar jika tidak melanjutkan di sekolah lain.

Untuk tempat belajar tidak ada tempat lain selain di bengkel milik Suroto . Hal itu tidak lain karena pertimbangan anggaran dan mahalnya rumah kontrakan . Kata Suroto, dia pernah berkomunikasi dengan pihak  Madrasah di depan bengkelnya itu, untuk menggunakan salah satu ruangan sekolah. Namun urung dilakukan karena  alasan psikologis peserta didik dan ruang sekolah yang juga digunakan pada hari Sabtu.

Rumah Pintar di bengkel  Suroto  memiliki peserta didik aktif 6 orang paket A dan 14 orang paket B dengan cukup variatif, ada yang berumur 7 tahun sampai 20 tahun. Bahkan  ada beberapa siswa  yang sudah berumah tangga.

Alasan Rumah Pintar Didirikan
Keinginan besar Suroto adalah agar anak-anak di Kendari tidak ada yang buta huruf. Selain itu, alasan digagasnya Rumah Pintar agar anak-anak di Kendari yang putus sekolah tidak bernasib sama seperti dirinya yang hanya sampai kelas 1 SD. Belum lagi anak-anaknya sendiri 7 orang (5 laki-laki, 2 perempuan), 6 orang tak sampai lulus SD. Hanya putri bungsunya  duduk di kelas 8  salah satu SMP di Kendari.

Ketika awal berdirinya Rumah Pintar, penolakan justru bukan dari anak tapi datang dari orang tua anak. Kadang-kadang orang tua lebih menginginkan anaknya untuk bekerja. Namun setelah diberikan pengertian dan pemahaman dari  Suroto, akhirnya orang tua dapat mengerti dan mau menyekolahkan anaknya di Rumah Pintar.

Bersekolah di  Rumah Pintar tidak dipungut biaya apapun karena mulai dari alat tulis, penghapus, buku dan lain-lain itu disediakan. Malah kadang-kadang Pak Suroto harus  patung-patungan dengan pengurus SJB menyewa mikrolet untuk  menjeput satu persatu anak  didik untuk datang belajar di Rumah Pintar.

Menurut Suroto, orang tua peserta didik Rumah Pintar tidak menyekolahkan anak-anak mereka karena masalah ekonomi. Banyak orang tua anak didik Rumah Pintar dari kalangan tukang ojek, pemulung, bahkan pengemis.  Selain itu biasanya karena nilai rapor atau ujian yang rendah sehingga sangat susah untuk masuk di sekolah negeri ketika tamat SD atau SMP. Kalaupun lulus di sekolah negeri biasanya jauh dari tempat anak-anak itu tinggal.

“Memang katanya sekolah sekarang katanya gratis, tapikan untuk pakaian sekolah, sepatu, buku, alat tulis harus beli sendiri. Mereka mana mampu, beli beras saja susah. Olehnya kalau bukan kita-kita ini yang perhatikan mereka siapa lagi,” ujar Pak Suroto. (***)

Penulis: Muhamad Taslim Dalma