Mengenal Sosok Nur Alam, Gubernur yang Berakhir di Jeruji Besi

JENDELASULTRA.BLOGSPOT.COM - Selama menjadi Gubernur Sulawesi Tenggara dua periode, pembangunan Nur Alam terlihat dari infrastruktur fisik yang digarapnya. Semasa pemerintahan tak dapat dipungkiri ada peningkatan  pelabuhan, rumah sakit, jalan, bandara, dan lainnya. Contoh pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Bahteramas dengan bangunan dan lokasi yang baru.

Dua proyek monumental yang disebut atas upaya Nur Alam dengan anggaran ratusan miliar adalah pembangunan Jembatan Teluk Kendari dan Masjid Al Alam. Dua proyek ini sama-sama berada di Teluk Kendari.

Jembatan Teluk Kendari yang membentang dari Pulau Bungkutoko dan Kota Lama adalah proyek pusat dengan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sedangkan anggaran Masjid Al Alam berasal dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Provinsi Sultra. Soal jembatan ini selesai pembangunannya usai pemerintahan Nur Alam, yakni ketika Ali Mazi kembali memerintah.

(Baca: Profil Nur Alam, Gubernur Sulawesi Tenggara yang Brilian)

Apa yang menjadi pencapaian Nur Alam sebagai gubernur tersebut hanyalah sebagian yang nampak, masih ada lainnya yang tak perlu disebut satu. Tentu ada hal positif dan ada pula yang kurang memuskan. Misalnya selama masa pemerintahannya, jalan provinsi banyak yang dibiarkan rusak contohnya jalan provinsi di Muna dan Buton Utara.

Namun goresan tinta emas sepanjang masa kepemimpinannya harus ditutup dengan setitik noktah yang mencemari. Ia berakhir di jeruji besi, dan menjadi catatan sejarah sebagai satu-satunya gubernur Sulawesi Tenggara yang menutup masa jabatan di bui.  

Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam

Berakhir di Jeruji Besi

Kemegahan dan kenikmatan tahta gubernur, mesti berganti dengan dinginnya jeruji besi. Begitulah apa yang harus dialami Nur Alam. Kasusnya menyeruak saat memasuki periode kedua masa jabatannya. Nur Alam ditetapkan tersangka oleh KPK pada Agustus 2016. KPK menemukan tindak pidana korupsi terkait izin pertambangan di Sulawesi Tenggara tahun 2009-2014.

Kasus itu terkait tindakan Nur Alam mengeluarkan Surat Keputusan (SK) persetujuan wilayah cadangan pertambangan, persetujuan izin usaha pertambangan, eskplorasi dan SK persetujuan peningkatan izin usaha pertambangan eksplorasi menjadi usaha pertambangan operasi produksi kepada PT Anugerah Harisma Barokah (AHB). Perusahaan ini melakukan penambangan nikel di Kabupaten Buton dan Bombana. Karena lintas kabupaten, maka memang Nur Alam sebagai gubernur yang berwenang soal izinnya.

Selain soal izin, Nur Alam juga didakwa telah menerima gratifikasi sebesar Rp40,26 miliar dari perusahaan Richorp Internasional Ltd. Gratifikasi tersebut diterima Nur Alam pada saat menjabat sebagai Gubernur. Gratifikasi ini juga disebut masih terkait dengan penyalahgunaan kewenangannya, yang kaitannya Richorp Internasional Ltd adalah pembeli nikel PT AHB.

Richorp Internasional Ltd diketahui mengirim uang kepada Nur Alam secara bertahap hingga totalnya mencapai Rp40 miliar lebih. Kemudian uang itu dipecah ke dalam tiga polis asuransi masing-masing Rp10 miliar. Sementara Rp10 miliar sisanya dikirim ke Nur Alam di Bank Mandiri yang ada di Kendari. Karena transferan inilah kemudian, ramai soal rekening gendut kepala daerah.

Perkara pun berlanjut, tepatnya Pada 28 Maret 2018, hakim memvonis Nur Alam pidana kurungan penjara selama 12 tahun dan pidana denda sebesar Rp1 miliar subsider pidana kurungan 6 bulan, serta pidana tambahan uang pengganti sebesar Rp2,7 miliar subsider 1 tahun pidana kurungan penjara. Selain itu, hakim juga mencabut hak politik selama 5 tahun, terhitung sejak Nur Alam selesai menjalani hukuman nanti.

Proses hukum lalu berlanjut lagi ke tingkat banding berdasarkan permohonan kedua belah pihak, jaksa penuntut umum dari KPK dan pihak Nur Alam. Pada tingkat banding ini, Nur Alam tetap dinyatakan bersalah, bahkan masa hukuman pidana penjaranya ditambah dari 12 tahun jadi 15 tahun.

Dalam kasus ini, negara dirugikan Rp2,728 triliun berdasarkan keterangan Basuki Wasis, seorang ahli lingkungan dan kerusakan tanah yang dihadirkan oleh KPK di persidangan. Perhitungan kerugian ini dengan mempertimbangkan kerusakan lingkungan. Basuki kemudian digugat oleh kuasa hukum Nur Alam di Pengadilan Negeri (PN) Cibinong tapi ditolak.

Kini, di tahun 2020, Nur Alam telah berusia 53 tahun, dan sudah 3 tahun menjalani masa tahanan. Masih lama untuk bebas, sekitar 12 tahun lagi. Belum lagi hak politiknya dicabut selama tahun pasca-bebas nanti. Maka selama itu pula dia tidak akan tampak di dunia perpolitikan, dunia yang membesarkan namanya. (*) 


Penulis: Muhamad Taslim Dalma

Referensi:

-Data pemberitaan media massa

-Sistem informasi penelusuran perkara