7 Makanan Khas Sulawesi Tenggara Enak dan Unik

JENDELASULTRA.BLOGSPOT.COM – Sulawesi Tenggara (Sultra) memiliki beragam makanan khas yang tak hanya enak tapi juga unik baik rasanya maupun bentuknya. Semua muncul dari masyarakat yang beragam suku dan tradisi.

Makanan khas Sulawesi Tenggara.


Berikut 7 makanan khas Sulawesi Tenggara terpopuler:

1. Lapa-lapa
Lapa-lapa

Lapa-lapa adalah makanan tradisional yang banyak dijumpai di Pulau Buton dan Muna. Makanan ini lekat dengan tradisi masyarakat setempat yang selalu menyajikan lapa-lapa dalam acara-acara adat. Lapa-lapa jadi hidangan utama yang wajib.

Bentuk makanan ini seperti tongkat estafet. Bungkusnya adalah janur yang diikat dengan tali, biasanya tali bhontu (tali dari kulit kayu yang dikeringkan). Isinya adalah beras dan santan. Perpaduan kedua bahan ini terbungkus janur dengan rapatnya ikatan tali, sehingga menjadi kunci rasa khas pada makanan ini. 

Biasanya lapa-lapa dibuat dalam jumlah banyak karena untuk keperluan acara masyarakat. Dalam satu keluarga yang syukuran maupun yang menggelar acara haroa, bisa menghabiskan 5 liter sampai 10 liter beras. Makanan ini bisa cukup awet dua hingga tiga hari, asalkan tidak dipisahkan dari air rebusan awal yang berwarna kecoklatan.

2. Sinonggi
Sinonggi

Sinonggi adalah makanan khas Sulawesi Tenggara yang dibuat dari bahan dasar tepung sari pati sagu. Sinonggi hanya mudah ditemui beberapa daerah Sulawesi Tenggara, dimana pohon sagu tumbuh subur. Wilayah penyebaran pohon sagu paling besar ada di Kota Kendari, Konawe, Konawe Selatan, Konawe Utara, dan Kolaka Timur. 

Pembuatannya mula-mula tepung sagu dicampur air biasa dalam baskom, lalu didiamkan. Proses itu, akan membuat tepung sagu putih mengendap, sementara kotoran dan tepung sagu yang agak coklat akan terangkat ke permukaan air. Setelah itu, airnya ditumpah dan yang tersisa adalah tepung sagu basah yang putih bersih.  

Proses selanjutnya, sagu ditaruh di baskom lalu disiram air mendidih dan diaduk-aduk. Sagu yang yang telah disiram air panas harus terus diaduk hingga menggumpal dan percampuran air dan sagu merata hingga tidak ada bintik-bintik tepung.  

Sinonggi biasa disajikan dengan makanan khas lainnya yang berkuah seperti ikan palumara (hidangan ikan) dan ayam tawaloho. Penyajiannya, mula-mula piring diberi kuah ikan palumara, perasan jeruk nipis, dan lombok biji. Dari wadah, sinonggi digulung dengan dua batang sumpit lalu ditaruh di piring yang telah lengkap dengan kuah tadi.
 
Sinonggi yang masih hangat sangat tepat untuk segera dimakan, apalagi bila kuah ikannya juga yang masih hangat. Namun, bila sudah dingin, rasanya cenderung berbeda dan hanya sedikit orang yang menyukainya.


3. Kambuse

Kambuse


Kambuse atau kambose adalah salah satu makanan pokok pada masyarakat di Pulau Muna. Sebelum populernya beras, kambuse jadi isi perut siang dan malam. Kambuse juga jadi bekal yang sangat diandalkan ketika masuk hutan dan berkebun.

Makanan ini terbuat dari biji jagung putih (biasa). Makanan ini dikonsumsi dengan lauk pendamping seperti ikan asin  dan sayur bening. Teksturnya yang keras bisa melatih kekuatan otot-otot rahang.


Cara memasak kambuse sederhana saja . Pertama-tama Biji jagung direbus dalam panci berisi air secukupnya, setelah mendidih tambahkan air kapur. Air kapur ini menjadi kunci enaknya kambuse, selain memberi rasa juga melunakkan kulit ari pada biji jagung. Kapur ini adalah khusus dari karang yang panaskan jadi kapur. 

Kambuse yang telah matang adalah bila sudah berwarna putih kekuningan dan biji jagung dianggap sudah lembek. Setelah itu biji jagung yang telah masak dicuci dengan air bersih sekitar 4 sampai 5 kali agar kapurnya hilang terbawa air.


Kambuse biasanya dimakan biasa seperti camilan. Ada juga yang dihancurkan  dengan cara ditumbuk dalam lesung atau digiling dalam alat bernama kagiling. Kambuse yang ditumbuk dalam lesung ini mempunyai rasa tersendiri.


4. Cucur
Cucur

Cucur adalah makanan dalam jenis kue. Bentuknya bundar seukuran telapak tangan. Warnanya merah kecoklatan, seperti warna gula merah. Bahannya memang hanya terdiri dari tepung beras dan gula merah. Untuk memenuhi selera ada yang menambahkannya dengan sedikit gula pasir dan  santan kelapa. 

Pembuatnya juga biasanya menggunakan jenis  beras dolog, bukan beras kepala atau beras mahal lainnya. Alasannya, sederhana karena beras dolog yang teksturnya mudah hancur akan menghasilkan kue cucur yang renyah.

Bahan lainnya yang diperlukan adalah minyak untuk menggoreng, akan lebih baik jika pakai minyak kelapa buatan masyarakat sendiri agar bau cucur yang dihasilkan lebih wangi. 


5. Kasoami
Kasoami

Kasoami  berasal dari bahan baku ubi kayu (singkong) yang tumbuh subur di wilayah kepulauan Sulawesi. Modelnya seperti kerucut, warnanya putih. Teksturnya lumayan kenyal. Memakannya paling enak dengan ikan bakar, atau bisa juga dengan ikan asin.

Pembuatannya, mula-mula ubi kayu diparut atau digiling pakai mesin. Hasil parutan dimasukan dalam karung atau kain untuk dipadatkan. Pemadatan dilakukan untuk menghilangkan kandungan air pada hasil parutan dengan cara ditindis/ditekan pakai alat dari kayu ataupun batu besar.

Padatan tersebut berwarna putih bersih (warna dasar ubi kayu) dan berbentuk lingkaran dengan diameter sekira 30 Cm serta ketebalan 5 sampai 6 Cm. Padatan lalu dibungkus dengan daun pohon jati atau daun pisang dan diikat. Bahan dasar inilah yang disebut Kagepe (penyebutan Buton-Wakatobi) alias Kaopi (Muna)  yang banyak dijual di pasar-pasar lokal setempat.

Bahan ini tidak bisa langsung dimakan karena harus dimasak terlebih dahulu dengan berbagai macam sajian. Kagepe selain  digunakan untuk bahan dasar membuat Kasoami, juga biasanya diolah menjadi kuliner khas lainnya seperti Onde-Onde, Sanggara Bandar (pisang goreng warna-warni), kerupuk, dan lainnya.

Tata cara membuat Kasoami masih sangat tradisional. Awalnya Kagepe diremas-remas dengan tangan sampai menyerupai tepung. Lalu bahan tersebut diamasukkan dalam alat kukus yang sangat unik, berbentuk kerucut (kurang lebih sama dengan tumpeng). Alat dengan volume sekira 1 liter ini  terbuat dari anyaman daun kelapa.

Untuk mengukusnya tidak menggunakan panci biasa namun dengan periuk yang terbuat dari tanah liat (mirip sebuah guci). Mulut periuk tersebut dimasukan alat kerucut yang telah berisi tepung kagepe. Lalu dimulailah proses pemasakan dengan api sedang dan volume air (sedang) dalam periuk yang tak sampai bersentuhan ujung kerucut.

Makanan ini biasanya dihidangkan  dengan kuliner khas lainnya seperti Kenta Parende (ikan kuah), Kadada Katembe (sayur bening), Kenta Kagarai (ikan asin) maupun ikan bakar. Rasa Kasoami cukup unik (kenyal-lembut), berbeda dengan makanan pokok lainnya seperti nasi. Jika dimakan tanpa lauk pauk, dipastikan kita akan sering merasa kehausan karena tekstur Kasoami yang menyerap cairan dalam mulut. 


6. Gola Ni’i 
Gola Ni'i atau Gula Kelapa

Gola ni’i atau lebih dikenal dengan sebutan kue gula kalupu adalah makanan yang banyak dibuat di Pulau Kabaena. Pulau ini terkenal sebagai pengahasil gula aren/gula merah. 

Masyarakat di Pulau Kabaena memang sangat ahli dalam membuat gola ni’i. Bahan-bahannya terdiri dari daging kelapa, gula aren, dan beras ketan. Ketiga bahan tersebut diolah sedemikian rupa hingga menghasilkan adonan yang legit dengan tingkat kekenyalan yang cukup padat.

Racikan adonan yang sudah masak berwarna merah kecoklatan kemudian dibungkus dengan lembaran kulit jagung, sebuah bentuk kemasan yang masih sangat tradisional. Kemudian, diikat rapat dengan menggunakan tali, tiga ikatan atas-tengah-bawah. Setelah jadi, ukurannya hanya hanya sebesar dua bola pimpong.

Mengenai rasa, manisnya unik dari cita rasa asli gula aren Pulau Kabaena. Enak disantap hanya sesekali waktu. Sebab rasanya yang legit bagi yang terlalu banyak mengkonsumsinya akan merasa bosan, tapi bakal bikin rindu dengan rasanya.


7. Kabuto
Kabuto

Kabuto adalah  makanan yang berasal dari ubi kayu (singkong)  yang dikeringkan.  Jenis bahan makanan yang bisa bertahan sangat lama bila sudah benar-benar kering. Makanan ini mungkin juga ada di daerah lain penghasil singkong dengan penamaan yang berbeda. 

Penyebutan “kabuto” di sini merujuk pada bahasa Muna dari kata “buto” artinya ‘lapuk’. Dalam proses pembuatannya memang ubi kayu mengalami pelapukan dari proses fermentasi sederhana. Warna ubi yang putih berubah jadi hitam pekat bercampur warna abu-abu, dan kadang pula kabuto berlubang-lubang seperti kayu yang dimakan rayap. 

Pengolakan kabuto dengan direndam terlebih dahulu lalu direbus. Ada juga yang setelah direndam berjam-jam lalu dihancurkan dengan tangan untuk kemudian direbus plus campuran parutan kelapa. (*)