Cucur merupakan penganan khas orang Muna maupun Buton yang berbentuk lingkaran. Ukurannya kurang lebih telapak tangan orang dewasa (tak termasuk jari yah). Kue ini biasanya wajib hadir dalam acara-acara keluarga maupun upacara adat. Selain nama “Cucur”, masyarakat Muna juga menyebutnya “Susuru”, sebuah kata yang mengikuti kaidah bahasa Muna.
Cucur atau "Susuru" merupakan kuliner khas dari daerah Buton dan Muna. Foto: Muhamad Taslim Dalma |
Haroa: Haroa: Tradisi Masyarakat Muna-Buton Bernuansa Islami)
Cara membuatnya tergolong gampang-gampang-sulit. Gampang bagi ibu-ibu asal Muna-Buton dan pastilah sulit bagi masyarakat luar yang hendak belajar membuatnya (He..he..). Mengapa sulit? Sebab untuk membuatnya harus memenuhi standar dan kriteria, harus betul-betul bundar dan memiliki gerigi (tumpul bulat) di sisi-sisi lingkaran.
Bahan aslinya sebenarnya hanya terdiri dari tepung beras dan gula merah. Untuk memenuhi selera ada yang menambahkannya dengan sedikit gula pasir dan santan kelapa. Pembuatnya juga biasanya menggunakan jenis beras dolog, bukan beras kepala atau beras mahal lainnya. Alasannya, sederhana karena beras dolog yang teksturnya mudah hancur akan menghasilkan kue cucur yang renyah.
Bahan lainnya yang diperlukan adalah minyak untuk menggoreng, akan lebih baik jika pakai minyak kelapa buatan masyarakat sendiri agar bau cucur yang dihasilkan lebih wangi. Peralatan yang dibutuhkan tentu saja kompor dengan nyala api sedang, kuali penggorengan, dan cangkir ukuran sedang.
Sebagai langkah awal, tepung beras dicampur gula merah yang sudah dihancurkan (seperti tepung). Takarannya, tentu saja volume tepung beras harus dua kali lebih banyak atau lebih, pokoknya sesuai selera.
Setelah tepung beras dan gula merah tercampur rata, tambahkan air secukupnya (atau bisa juga santan) lalu aduk hingga kental. Adonan haruslah kental, tidak boleh cair agar ketika digoreng kue cucur bisa terbentuk lingkaran sempurna dan tidak meluber.
Takaran setiap kali penggorengan adalah segelas cangkir. Tuangkan adonan yang ada di cangkir ke kuali berisi minyak yang sudah panas. Minyak tidak boleh terlalu banyak, secukupnya saja dengan ukuran agar adonan tak terlalu tenggelam dalam minyak. Jika adonannya bagus maka cucur akan terbentuk sempurna. Gerigi rapi di setiap sisi lingkaran cucur terbentuk oleh didihan minyak di sisi-sisi adonan cucur.
Adonan yang baik biasanya akan meletus kecil di dalam penggorengan. Jika tidak meletus biasanya di bagian tengah cucur di tusukkan lidi agar matangnya sampai ke bagian tengah adonan. Jika dirasa sudah masak, cucur bisa diangkat dan siap dihidangkan.
Cucur akan lebih nikmat disantap saat masih hangat, usai diangkat dari kuali. Namun itu tergantung selera masing-masing. Rasanya unik dari perpaduan yang pas antara gula merah dan tepung beras, apalagi ditambah santan.
Selain disantap saat acara Haroa, ada juga yang menyantapnya dengan segelas teh di pagi hari. Karena rasanya yang manis, kue cucur juga bisa jadi sajian Dessert (hidangan penutup) untuk acara makan siang atau makan malam.
Kalau dijadikan oleh-oleh ada baiknya sebelum dimakan dipanasi terlebih dahulu di panci dandang. Sertakan daun pepaya di dalam panci, tepat di samping atau jadi pengalas cucur yang akan dipanasi. Cara ini akan membuat tekstur cucur lebih renyah. Lalu disantap dalam keadaan hangat. (Baca juga: Kambuse, Kuliner Khas Tradisional Masyarakat Muna)
Penulis: Muhamad Taslim Dalma