Mendaki Puncak Ahuawali Konawe : Surga Tersembunyi “Negeri di Atas Awan”

JENDELASULTRA.BLOGSPOT.COM – Julukan “Negeri di Atas Awan” ternyata bukan hanya milik Tangkeno di Bombana. Masih ada destinasi wisata lain di Sulawesi Tenggara (Sultra) yang juga menyuguhkan indahnya bila berada di atas awan. Namanya Puncak Ahuawali di Konawe.  

Pemandangan hamparan selimut awan yang menyelimuti bukit tak hanya akan menyejukkan mata tapi juga merefresh pikiran. Dari Puncak Ahuawali terlihat hamparan sawah di kaki bukit, pepohonan hijau dan rerumputan seperti savana, serta padang ilalang yang membentang lintas lembah.

Puncak Ahuawali di Konawe. (Foto: JENDELASULTRA.BLOGSPOT.COM)

“Surga” ini masihlah tersembunyi sebab masih banyak orang yang belum tahu dan sedikit berkunjung ke tempat itu. Bahkan kata “Ahuawali” masih asing di telinga masyarakat Sultra. Spot wisata itu biasanya hanya dikunjungi traveler atau anak-anak pencinta alam untuk berkemah.

Puncak Ahuawali masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara. Ahuawali merupakan nama desa di bawah puncak, yang menjadi titik awal pendakian. Jika dipisah menjadi dua suku kata “ahua” dan “wali”. 

Dalam bahasa daerah setempat (Tolaki) “ahua” artinya sumur dan kata “wali” erat kaitannya dengan  ulama atau penyebar ajaran Islam di Nusantara pada zaman dahulu. Di Desa Ahuawali memang terdapat sumur yang tidak sembarang orang bisa melihatnya. Namun kaitannya dengan Wali dalam Islam masih perlu ditelusuri lebih jauh sejarahnya.

Untuk sampai di lokasi, bila keberangkatan mulai dari Kota Kendari maka menuju Unaaha (Ibukota Konawe). Lalu perjalanan dilanjutkan ke arah Kolaka, begitu sampai di pertigaan Lambuya (kalau belok kanan ke Kolaka) terus lurus sampai di Dekat Motaha (Konawe Selatan). Titik awal pendakian tepat berada di Desa Ahuawali, Kecamatan Puriala, Konawe.

Rute menuju puncak cukup kentara meski jarang dilewati. Jalannya sedikit berbatu berpadu tanah merah yang kalau musim kemarau mudah didaki dan tidak licin. Dari awal sampai puncak ada lima titian (datar) pendakian untuk beristirahat melepas letih.

Sepanjang perjalanan menuju puncak sesekali akan terlihat gerombolan sapi Bali berwarna coklat dengan penggembala di belakangnya. Udara sejuk dari balik pepohonan dan angin lepas dari padang ilalang memberi nuansa tersendiri sepanjang perjalanan.

Ketinggian di puncak mencapai 800 Meter di atas permukaan laut (MDPL) dengan jarak tempuh sekitar satu jam. Begitu tiba, bisa langsung mengambil spot kemah yang diinginkan. Olehnya disarankan membawa alat-alat perkemahan seperti tenda agar bisa bermalam dan melihat matahari pagi.

Pengunjung sebaiknya datang pada musim kemarau mengingat jalur pendakian yang licin bila hujan. Pada musim kemarau  selimut kabut “negeri di atas awan” akan lebih mudah muncul sebab pada kondisi tertentu awan tidak tampak menyelimuti perbukitan Ahuawali.

“Negeri di atas awan” akan menampakkan dirinya hanya pada fajar menyinsing menyambut mentari. Saat itulah kesejukan dingin merayapi tubuh yang dapat dihangatkan dengan secangkir kopi atau susu sembari menatap lautan awan di depan mata.

Manakala pagi datang, burung-burung begitu senang dengan berbalas kicauan. Begitu matahari menanjak pada rotasinya lautan awan perlahan memudar dan merdu suara burung lenyap entah kemana. Saat itu pulalah tirai seperti terbuka, pandangan mata menembus lembah jauh puluhan kilo meter hamparan pemandangan.

Namun ironis, keindahan yang demikian agak terganggu dengan aktivitas pertambangan di salah satu sisi perbukitan. Alat-alat berat tampak membuat “kudis” di permukaan bumi. Kudis-kudis itu semacam perlahan menjadi luka menganga bagi Bumi Anoa. (Baca juga: Keistimewaan Puncak Amarilis: Aneka Warna Batu Alam Tersaji)


Penulis: Muhamad Taslim Dalma