Di daerah Muna dan Buton, bila waktunya tiba, haroa akan digelar di rumah masing-masing. Begitu pula di daerah rantau, orang-orang Muna dan Buton tak jarang masih ditemukan yang merawat tradisi itu dengan baik.
Tradisi haroa umumnya digelar oleh orang yang telah berkeluarga. Kalaupun bagi pemuda-pemudi lajang maupun anak-anak yang tinggal sendiri maka menghadiri acara haroa dengan mengunjungi kerabat. Karena hal itulah maka haroa juga dianggap sebagai sarana silaturrahim antar kerabat atau sanak keluarga.
Tradisi haroa |
Segenap anggota keluarga lalu datang berkumpul di ruang acara haroa. Semua peserta haroa membentuk lingkaran, di tengahnya ada nampan sajian makanan. Lazimnya haroa dipimpin oleh pemuka agama kampung yang disebut ‘imam’, ada pula penyebutan ‘modji’ .
Selama kurang lebih setengah jam, peserta haroa dengan tenang menantikan bacaan doa si imam selesai. Dalam salah satu tahapan, imam membaca doa sambil membakar dupa. Serbuk dupa itu mendesis setiap kali mengenai bara api hingga asap putihnya mengepul.
Usai pembakaran dupa oleh imam, wadah dupa itu dikelilingkan, untuk masing-masing peserta mengusapkan asapnya yang masih menebal ke bagian wajah. Lalu wadah dupa itu dipinggirkan.
Rangkaian pembacaan doa selesai ketika imam menengadahkan tangan dengan memberi aba-aba “amin” lalu diiukuti peserta. Posisi ini mirip posisi berdoa usai ibadah shalat, yang mana imam shalat menengadahkan tangan lalu diikuti makmum.
Sajian makanan dalam acara haroa |
Acara haroa berakhir dengan saling jabat tangan (salaman). Imam menyalami masing-masing peserta lalu sesama peserta saling bersalaman. Suami bersalaman dengan istri, lalu ke anak-anak mereka.
Acara haroa ditutup dengan makan sajian haroa bersama. Semua menu haroa dimakan bersama. Bila sajian kurang maka cadangan persediaan dikeluarkan sampai benar-benar habis. Pun bila imam hendak membawa pulang sajian, maka dibungkuskan. Biasanya telur dan lapa-lapa.***
Penulis: Muhamad Taslim Dalma