Lintas Generasi Pengrajin di Konawe, Hasilkan Anyaman Tolaki Bernilai Tinggi dari Anggrek Serat


Pada suatu pagi yang cerah di Desa Ameroro, Kabupaten Konawe (15/4/2022), Asnawati terlihat fokus menganyam sebuah songkok berbahan anggrek serat, yang lebih dikenal sebagai sorume. Jam di dinding rumah kayu itu telah menunjukkan pukul 09.30, yang berarti sudah 1,5 jam ia berkutat dengan helai demi helai bahan anyaman. 

Bila sudah duduk menganyam di ruang tengah rumah itu, tak boleh ada yang mengganggunya sebab salah sedikit saja sususan helaiannya akan merusak motif anyaman secara keseluruhan. Di sampingnya terdapat dua mesin jahit yang digunakannya untuk menambahkan bahan kain dalam hasil anyamannya.

Ia akan menyudahi pekerjaannya bila sudah jam 3 sore.  Sebagai seorang ibu, ia juga harus mengurusi pekerjaan rumah tangga apalagi saat ini Bulan Ramadan. Selain menyiapkan sahur untuk keluarganya, ibu tiga anak ini juga mesti menyiapkan santapan buka puasa.  

Begitulah keseharian ibu berusia 43 tahun ini yang menekuni pekerjaan itu sudah 25 tahun. Keahlian menganyam itu didapatnya dari ibunya yang juga memiliki pekerjaan serupa. Ia memperkirakan pekerjaan itu sudah tiga generasi diturunkan pada setiap anak perempuan. Di kampung itu, lazimnya pekerjaan menganyam memang hanya dilakoni perempuan.

Anggrek serat (Dendrobium utile) atau yang dikenal dengan sebutan sorume.

Sejak remaja, Asnawati sudah dilatih untuk melanjutkan usaha orang tuanya. Kini usaha itu turut menopang ekonomi keluarganya. Suaminya yang bekerja sebagai peternak hanya sesekali membantu dalam penyiapan bahan baku. Sementara tiga anaknya yang semuanya laki-laki tidak berminat menganyam, mereka hanya membantu ibunya memasarkan lewat media sosial. 

Umbi pada anggrek serat yang bernama latin Dendrobium utile menjadi bahan baku utama yang mereka andalkan. Bahan baku berupa batangan kecil serupa pipet yang dibelah dua, mereka dapatkan dari pencari anggrek di Kecamatan Mowewe, Kolaka Timur. Sekilas ini, memang terlihat seperti batang biasa tapi dalam penelitian batang ini disebut dengan umbi semu. 

Bahan dari anggrek jenis ini memiliki keunggulan dari segi ketahanan yang bertekstur serat kuat dan tahan lama. Kekuatannya terlihat dengan percobaan sederhana ketika dua orang dewasa saling tarik dengan batang anggrek ini tidak putus.  Warnanya juga yang kuning keemasan mengkilap membuatnya tak perlu pewarna, tapi untuk variasi pengrajin menambahkan bahan pewarna merah dan hijau.

Bahan baku itu tidak langsung dapat digunakan tapi harus melalui beberapa proses lagi.  Awalnya bahan baku yang kaku dan keras direndam selama sepekan. Lalu, setiap batang dikeluarkan isi dalamnya hingga tersisa bagian serat luar yang berwarna kuning keemasan. Serat ini lalu dililitkan ke batangan bambu untuk dijemur 3 hari. 

Setelah dibuka dari batangan bambu, berbentuk pita yang siap dianyam. Warnanya kuning keemasan mengkilap. Pita ini dibelah-belah memanjang sesuai keperluan anyaman. Pada tahap ini juga dipisahkan untuk diberi pewarna kimia merah, hijau, dan hitam. Untuk bahan anyaman yang perlu warna kuning maka tak diberi pewarna.

Asnawati menunjukkan bahan baku dan hasil anyaman dari anggrek serat.

Dengan bahan tersebut, Asnawati membuat anyaman berupa songkok, tikar adat, alas kalo sara (berbentuk tikar persegi), dan tas. Harga songkok minimal Rp600 ribu dan bisa lebih mahal lagi sesuai motif anyaman. Sementara tikar adat berukuran 100 cm x 60 cm berharga Rp2 juta. 

Pelanggan Asnawati biasanya adalah masyarakat suku Tolaki untuk keperluan adat. Ada pula pelanggannya yang dari luar Provinsi Sulawesi Tenggara tapi tetap terkait dengan adat Tolaki. Pada awal April 2022 ini Asnawati menjual delapan songkok kepada seseorang untuk dibawa ke Batam yang akan digunakan dalam acara adat Tolaki.

Pelanggan biasanya datang langsung ke rumah Asnawati yang terletak tepat di depan jalan raya dan ada pula yang memesan lewat media sosial. Dalam pemasaran lewat media sosial ini, Asnawati dibantu oleh anaknya. 

“Sekarang ini datang terus pesanan. Jadi siapa yang duluan memesan dia yang dibikinkan duluan. Ini sekarang ada dua yang menunggu dibuatkan pesanannya, satu orang dari Konawe Selatan dan satu dari kampung sini,” ujar Asnawati sembari memperlihatkan aneka anyaman yang dibuatnya.

Meski banyak pesanan, ia tak serta merta menaikkan harga, begitu pula pembeli tidak lagi menawar dengan harga yang ada. Pembeli yang datang kadang geleng-geleng kepala karena rumitnya pembuatan anyaman itu.  

Tantangan dalam menjalankan usaha ini bagi Asnawati adalah bahan baku. Ia tak dapat memesan terlalu banyak sekaligus karena modalnya yang besar. Kalaupun jelang persedian bakal habis, kadang waktu pemesanan bisa berbulan-bulan baru sampai ke tangannya.

Misalnya untuk bahan baku yang ada saat ini, ia harus menunggu tiga bulan dan harus membayar uang muka. Harganya per tangkai Rp600 sampai Rp1.000 tergantung panjang batang. Dengan modal Rp3,3 juta, ia mendapatkan 5.000 batang anggrek serat. 

Ia sudah pernah mencoba sekali membudidayakan anggrek serat seperti bunga hias tapi hanya sekali dipanen lalu mati. Jadinya ia hanya berharap bahan baku dari pencari anggrek serat di Mowewe, Kabupaten Kolaka Timur, sementara untuk di daerah tempat tinggalnya Kabupaten Konawe tidak ada.

Terkait keberlangsungan usaha itu, karena ketiga anak laki-lakinya tak berminat maka ia telah menyiapkan seorang kemenakan perempuan untuk mempunyai usaha serupa. Ia melatihnya terkait penyiapan bahan dan keterampilan menganyam. 

Anyaman kopiah dengan bahan baku anggrek serat (Sorume). 

Selain Asnawati, di kampung itu saya bertemu Nenek Nastin yang juga memiliki usaha anyaman sorume dengan bentuk dan proses pembuatan yang sama, termasuk asal bahan baku. Jarak rumah mereka hanya sekira 100 meter. 

Mereka bergabung dalam satu kelompok pengrajin dengan nama Medulu. Karena satu kelompok dan masih terikat hubungan keluarga, Asnawati dan Nastin saling membantu serta sama-sama memberdayakan ibu-ibu tetangganya.

Para ibu-ibu tetangga mereka itu sudah mahir dengan bayaran per satuan hasil anyaman tapi hanya sebagai pekerjaan sambilan. Tidak seperti Asnawati dan Nastin yang fokus dari penyediaan bahan baku hingga mencari pelanggan.

Selain hasil anyaman, Nenek Nastin yang sudah berusia 64 tahun juga menyediakan anggrek serat dalam keadaan hidup. Anggrek dijualnya per pot mulai dari harga Rp150 ribu hingga Rp500 ribu. Tidak seperti Asnawati yang menyerah dalam memelihara anggrek serat, Nastin bisa merawatnya agar tetap hidup dan bertumbuh hingga laku terjual.

Nastin tampak meletakkan anggrek serat yang tersisa lima pot tepat di samping rumahnya tanpa terkena langsung sinar matahari. Ia akan menyiramnya tiga kali seminggu dan rutin memperhatikan perkembangannya. Bila ada batang yang sudah menua dan layu, ia akan segera memotongnya sehingga segera tumbuh tunas baru.

Bila tak laku terjual dan sudah rimbun, ia akan memanen anggrek serat itu untuk dijadikan bahan baku anyaman. Kendati begitu, pertumbuhannya yang lambat tak bisa diandalkan jadi sumber bahan baku dan bila tak diperhatikan anggrek serat di pot milik Nastin gampang mati.

“Itu yang di pot sudah saya panen tapi hanya 20 batang. Itu kurang sekali karena untuk membuat satu songkok saja perlu 200 batang,” tutur Nastin yang masih jago menganyam dengan aneka motif. 

Oleh karena itu, Nastin memesan bahan baku dari pencari di Mowewe, termasuk anggrek serat yang masih hidup. Ia sengaja menyediakan anggrek yang masih hidup karena orang yang datang selalu ingin melihat langsung dan tertarik membelinya.

Nastin sedang menganyam sebuah songkok.

Awal memulai pekerjaan menganyam, Nastin dulu masih berusia 13 tahun membantu ibunya. Keterampilan menganyam sorume itu diwariskan secara turun temurun, sehingga Nastin sebagai anak perempuan yang melanjutkannya. Keluarga ini sudah empat generasi menjalankan usaha itu.  

Soal keuntungan, bagi Nastin terbilang cukup seperti dirinya yang hanya beraktivitas di rumah. Perhitungannya begini, satu songkok sorume yang dianyam dalam waktu satu minggu dijual dengan harga Rp700 ribu maka keuntungannya adalah Rp300 ribu.

Dari hasil menganyam itu, nenek Nastin yang hanya bersuami seorang petani bisa membangun rumah permanen dan menghidupi 9 orang anaknya (5 laki-laki dan 4 perempuan). Bahkan Nastin baru saja pulang umrah dari hasil kerja menganyam.

Kini, Nastin telah menyiapkan empat orang anak perempuannya yang telah mahir menganyam sebagai penerus. Ia merasa bersyukur anak-anaknya sendiri mau belajar menganyam sehingga usaha kerajinan itu tidak putus pada dirinya yang kini sudah berusia senja. 

Tersisa Dua Usaha Pengrajin

Pemilik usaha kerajinan sorume hanya tersisa Asnawati dan Nastin, padahal sekitar tiga dekade yang lalu jumlahnya sekitar 10 orang di kampung itu. Dua pengrajin yang tersisa itu kini menjadi harapan untuk tetap menyediakan peralatan adat Tolaki berbahan sorume sebagai kekayaan budaya warisan leluhur. 

Juru Bicara Adat Desa Ameroro, Aswan mengaku khawatir karena jumlah pengrajin terus berkurang karena ada yang memasuki usia senja dan ada yang sudah meninggal dunia. Memang terdapat beberapa pengrajin anyaman di Konawe tapi yang menggunakan sorume hanya Asnawati dan Nastin. 

Sehingga, ia menekankan pentingnya regenerasi meski harus diakui bahwa generasi muda sudah tertarik dengan pekerjaan menganyam. Aswan mencontohkan, terdapat satu penganyam di kampung itu yang sudah menyiapkan anaknya jadi penerus hingga mahir menganyam, tapi tidak berlanjut karena si anak akhirnya lebih memilih pekerjaan lain.

“Soalnya sudah pada tua-tua ini, umur sudah 40 dan 60-an tahun. Kalau sudah 65 kan pasti tidak mampumi mata untuk menganyam itu, fisik juga sakit-sakit. Jadi jelas terancam. Biarpun juga bahan bakunya ada tapi kalau pengrajinnya tidak ada maka sama saja bohong,” ujar Aswan di kediamannya, 15 April 2022.

Oleh karena itu, menurut Aswan butuh dukungan dari semua pihak agar kerajinan sorume terus berlanjut, apalagi ini bagian dari ekonomi kreatif. Aswan sendiri sebagai tokoh adat turut mengambil peran dengan mempromosikan dan menjualkan produk sorume pada acara-acara tertentu.

Anyaman dari bahan baku anggrek serat. Tampak rapi dan indah dengan warna yang mengkilap.

Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kabupaten Konawe mencatat pengrajin sorume hanya ada di Ameroro dan yang menjalankan usaha itu tinggal Asnawati dan Nastin. Dekranasda Konawe membantu dengan mengadakan pelatihan peningkatan desain dan mempromosikan hasil anyaman hingga ke tingkat nasional.

Sekretaris Dekranasda Konawe, Sudriani mengatakan desain lama biasanya hanya songkok dan tikar, sehingga pihaknya melatihkan penambahan jenis kerajinan berupa aneka tas tangan yang disukai ibu-ibu. Pelatihan ini juga bukan hanya soal desain tapi bagaimana mendorong para generasi mudanya ikut menjadi penganyam sorume. 

Namun pelatihan ini juga tergantung pada penganggaran dari Pemerintah Daerah (Pemda), seperti tahun 2022 ini belum ada penganggaran sehingga tidak ada pelatihan. Tahun 2021 lalu, Dekranasda melaksanakan satu kali pelatihan.

“Pengrajin tinggal itu karena ada juga yang sudah meninggal. Makanya kita arahkan supaya yang muda-muda juga ikut memiliki keterampilan seperti itu,” ujar Sudriani saat bertemu di Kantor Disperindag Konawe, 16 April 2022. 

Selain itu, Dekranasda juga membantu promosi dan pemasaran. Pada kegiatan pameran dari tingkat kabupaten, provinsi sampai tingkat nasional, sorume diperkenalkan sebagai produk unggulan dari Konawe. Pengunjung pameran yang tertarik membeli akan dibantu oleh Dekranasda. 

Peminat kerajinan sorume ini didominasi oleh masyarakat Tolaki yang ada di Sulawesi Tenggara, biasanya dari daerah Konawe, Konawe Utara, Konawe Selatan, Kendari, Kolaka Timur, dan Kolaka. Mereka menggunakannya untuk acara-acara adat Tolaki. 

Barang Tiruan untuk Penuhi Kebutuhan Pasar

Untuk memenuhi tingginya permintaan pasar terhadap kerajinan dari bahan sorume maka dibuatkan tiruannya. Adalah Galeri Rumah Laikanggu yang membuat aneka tiruan anyaman sorume berupa tikar adat dan songkok.

“Sekarang karena barang itu langka (kerajinan sorume) sementara itu ciri khasnya kita orang Tolaki, saya coba buatkan KW-nya dari bahan pandan hutan. Kami buat semirip mungkin. Perbedaannya, kalau sorume itu sangat halus sekali, kalau ini pandan masih agak kasar potongan-potongannya,” ujar Fatmawati Harli Tombili selaku Pemilik Galeri Rumah Laikanggu, 24 April 2022.

Untuk dapat membuat tiruan tersebut, karena tenaga kerja lokal yang terbatas maka Fatmawati memesannya di Jawa. Ia meminta penganyam di sana untuk membuatnya semirip mungkin mulai dari warnanya hingga bentuknya. Hasilnya, kini sudah tersedia di galerinya sebagai barang jualan.

Perbandingan harganya, bila songkok dari bahan sorume berharga Rp1 juta sampai Rp1,5 juta, maka tiruannya yang dari bahan pandan hutan hanya Rp250 ribu saja. Sementara tikar sorume seharga Rp2,5 juta, maka tiruannya hanya Rp450 ribu saja. 

Ia berharap bahan anyaman itu menjadi alternatif yang dapat diminati oleh masyarakat sehingga tidak terlalu bergantung pada bahan sorume yang langka. Kendati begitu, ia belum bisa melihat respon pelanggan karena barang-barang dari pandan baru saja dipajangnya.

Pembuatan barang tiruan sorume itu juga dalam rangka membiasakan masyarakat agar tidak melupakan budayanya sendiri di tengah terbatasnya bahan baku dan sedikitnya yang pandai membuat anyaman sorume. 

Ia khawatir dengan mahalnya harga anyaman sorume, masyarakat tidak mau membelinya karena banyak hal lain yang jadi prioritas. Dengan adanya barang duplikat itu diharap pergerakan budaya tetap berjalan sebagaimana mestinya. 

Penelitian tentang Anggrek Serat

Struktur tanaman bernama ilmiah Dendrobium Utile ini terdiri dari akar, batang, umbi semu, daun, dan kembang. Di alam, anggrek serat tergolong tanaman epifit yang hidupnya menempel pada batang pohon. Cara perkembangbiakannya lewat biji dari penyerbukan.

Pada lama powo.science.kew.org (https://powo.science.kew.org/taxon/urn:lsid:ipni.org:names:628862-1) disebutkan bahwa distribusi anggrek serat terdapat di Sulawesi dan Maluku. Di situ juga tercatat bahwa dalam The International Plant Names Index, peneliti awal “dendrobium utile” adalah J.J. Smith. 

Anggrek serat (Dendrobium utile) yang digambar dalam penelitian J.J. Smith. (Sumber: Istimewa)

Dari penelusuran penulis, penelitian terdahulu tentang anggrek serat yang merupakan endemik Indonesia ini memang dilakukan oleh J.J. Smith. Naskah penelitiannya yang berbahasa Jerman terbit dengan judul “Icones Bogorienses Volume II” tahun 1906.

Dalam penelitiannya  J.J. Smith menjelaskan struktur tumbuhan anggrek serat mulai dari umbi, daun, hingga kembang. Misalnya, ia menyebut bahwa perbungaan di puncak umbi, berbunga, sangat pendek, dan penjelasan tentang struktur lainnya.

“Prof. M. Weber membawa tanaman semacam ini dari Ambon, di mana katanya batangnya digunakan untuk menganyam benda-benda kecil seperti topi, kotak cerutu, dan lain-lain.” tulis J.J. Smith dalam naskahnya.

J.J. Smith juga menyebut industri anyaman serupa juga terdapat di kepulauan Sangir (nama suku yang berada di Sulawesi Utara). Namun dia tidak dapat mengatakan apakah hanya satu dan spesies yang sama untuk tujuan ini (anyaman). (***) 

Penulis: Muhamad Taslim Dalma