Anggrek serat atau Dendrobium utile memiliki keterikatan dengan kultur masyarakat Tolaki, salah satu suku yang mendiami wilayah Sulawesi Tenggara. Bunga jenis itu dikenal masyarakat lokal dengan sebutan sorume.
Tumbuhan jenis ini dijuluki oleh masyarakat lokal sebagai tanaman para dewa. Ada beberapa alasan mengapa sorume memiliki nilai yang sangat tinggi sehingga disebut demikian. Pertama, sorume yang tidak tumbuh di tanah dan hanya tumbuh di atas pohon yang tinggi. Kemudian, sorume berwarna kuning keemasan mengkilap yang merupakan symbol kejayaan.
Sorume ini menjadi bahan baku anyaman oleh pengrajin di Desa Ameroro, Kabupaten Konawe. Mereka menghasilkan anyaman yang dibutuhkan pada acara-acara adat Tolaki seperti tikar adat, songkok, dan alas kalosara (anyaman berbentuk persegi).
Satu-satunya yang memasok kebutuhan anggrek serat ke Desa Ameroro, adalah Syahrul (34) dan ayahnya, Subiyono (60). Mereka tinggal di Kelurahan Wointombo, Kecamatan Mowewe, Kolaka Timur.
Syahrul dan ayahnya hanya akan naik ke puncak Mowewe mencari anggrek serat bila ada pesanan, baik dalam bentuk yang masih hidup maupun potongan-potongan batang anggrek untuk bahan baku anyaman.
Perjalanan dari rumah mereka ke lereng gunung berjarak 2 kilometer. Rute awal ini ditempuh dengan menggunakan kendaraan roda dua. Lalu dari lereng gunung, mereka akan berjalan kaki naik ke puncak, lokasi tumbuhnya anggrek serat. Lama perjalanan bisa memakan waktu sampai 9 jam, makanya harus dimulai sejak subuh hari agar ketika sampai di puncak ada kesempatan untuk membuat kamp.
Hutan yang mereka masuki bukanlah hutan biasa, tapi benar-benar hutan rimba yang mana penuh dengan pohon-pohon besar dan tinggi hingga sinar matahari tampak redup. Pepohonannya banyak ditumbuhi lumut dan kawasan ini memiliki ketinggian 1.000 hingga 1.700 meter di atas permukaan laut (MDPL).
“Di sana itu cepat sekali diselimuti dengan kabut dan suhunya itu dingin sekali. Kita berjalan mencari anggrek sorume itu seperti mencari sarang lebah madu di atas pohon. Tumbuhnya itu di pohon, mata minimal harus jeli melihat,” ujar Syahrul, 15 April 2022.
Anggrek serat atau Dendrobium utile. (Foto: Penelitian LPPM UHO) |
Anggrek sorume tumbuh di batang maupun dahan pohon. Untuk mendapatkannya, Syahrul akan memanjatnya dengan posisi paling rendah 4 meter, dan ada pula hingga di ketinggian 20 meter. Kadang pula tapi jarang, anggrek sorume ditemukan di tanah pada dahan pohon yang jatuh karena lapuk.
Saat melihat anggrek yang sudah tua dan layak panen, Syahrul akan mengambilnya dari pohon beserta akar-akarnya. Anggrek serat yang layak panen ini cirinya rimbun dan batangnya sudah kekuning-kuningan, sedangkan yang belum layak panen tak diambilnya.
Syahrul hanya mengambil bagian umbinya, sementara bagian akarnya disimpannya di batang pohon dan di tanah agar kembali tumbuh. Sejauh pengamatannya, akar-akar sisa ini dapat kembali bertumbuh dengan baik di hutan itu. Namun bila ada pesanan untuk budi daya maka Syahrul akan mengambil penuh dengan akar-akarnya.
Setelah sampai di rumahnya, batangan-batangan anggrek serat dibersihkannya dengan pasir halus. Setelah itu, setiap batang dibelah dua untuk menjalani proses penjemuran. Saat sudah kering maka siap dikirim ke Ameroro sebagai bahan baku anyaman.
Syahrul sendiri baru menekuni pekerjaan itu selama 10 tahun, sedangkan ayahnya sudah 40 tahun. Pekerjaan ini diturunkan dari generasi ke generasi, yang mana Syahrul sudah generasi keempat. Pencari anggrek serat di kampung itu tersisa mereka berdua. Sebelumnya saudara ayahnya juga seorang pencari anggrek tapi berhenti karena sudah lanjut usia.
Tantangan dalam menekuni pekerjaan itu adalah hujan yang bisa datang kapan saja disertai suhu dingin yang menusuk. Kemudian kabut yang datang pada pagi maupun siang hari. Bila sudah berkabut maka jarak pandang terjauh hanya 5 meter. Bila terjadi dua hal ini, mereka menghentikan pencarian dan kembali ke kamp.
Kembang Anggrek Serat. (Foto: Istimewa) |
Terkait kelestarian anggrek serat, Syahrul yakin dengan cara panennya tak berpengaruh pada pengurangan populasi anggrek serat. Begitu pula dengan tanaman anggrek yang diambilnya untuk budi daya, diharapkan dapat dikembangbiakkan oleh masyarakat.
Satu-satunya ancaman menurutnya adalah pembalakan liar. Suara gergaji mesin (chainsaw) para penebang pohon sering terdengar saat perjalanan menuju lokasi tumbuhnya anggrek serat. Dikhawatirkan pohon yang ditebang adalah tempat tumbuhnya anggrek serat.
Syahrul mengidentifikasi pelaku pembalakan liar ini adalah masyarakat Mowewe sendiri, bukan orang dari kecamatan lain. Hanya menurutnya masih sangat jauh dengan lokasi tumbuhnya anggrek serat dan saat ini belum memungkinkan kayunya dapat diambil karena aksesnya yang sulit di ketinggian.
“Itu yang kita khawatirkan karena semakin hari semakin jauh mereka menebang kayu. Takutnya kalau masuk di area tumbuhnya anggrek sorume itu. Kapan sudah dirusak itu tinggal cerita belaka saja nanti,” tutur Syahrul. (***)
Penulis: Muhamad Taslim Dalma