Mengenal Anggrek Serat Tanaman Endemik Sulawesi yang Terancam Punah


Anggrek serat dengan nama latin Dendrobium utile merupakan jenis flora endemik Sulawesi. Anggrek yang merupakan bagian dari biodiversitas Wallacea ini dikenal oleh masyarakat lokal Tolaki di Sulawesi Tenggara dengan sebutan “sorume”.  

Keberadaannya di alam sangat terbatas, bahkan terancam punah bila taka da upaya pelestarian dari berbagai pihak. Di Sulawesi Tenggara pun, anggrek serat hanya banyak ditemukan di wilayah Kolaka Timur.   

(Baca: Kisah Pemburu Tanaman Para Dewa di Puncak Mowewe Kolaka Timur)

Anggrek serat berbeda dengan anggrek lainnya.  Tak hanya memiliki bunga tapi juga secara ilmiah bunga ini memiliki umbi semu yang kecil dan keras, dapat bertumbuh sepanjang 30 sentimeter hingga 1 meter. 

Umbi semu yang tumbuh ke atas ini memanjang berwarna dominan kuning dengan campuran hijau dan merah kecokelatan. Cirinya, tumbuh membentuk rumpun, dan umbinya memanjang lurus tak bercabang. 

Oleh masyarakat adat Tolaki umbi semu berbentuk sedotan itulah yang dikumpulkan lalu dibelah-belah memanjang untuk dijadikan aneka anyaman. Umbi semu yang berwarna emas mengkilap dengan serat yang sangat kuat membuatnya ideal jadi bahan anyaman. Kekuatanya dapat diuji coba dengan saling tarik dua orang dewasa menggunakan batang umbi semu anggrek serat. Hasilnya dapat dipastikan batang anggrek serat itu tak akan putus.

Anggrek serat dengan nama latin Dendrobium utile. Masyarakat Tolaki menyebutnya "Sorume". (Foto Penelitian LPPM UHO)

Lokasi tumbuhnya anggrek serat tersebut masuk dalam kawasan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Unit IV Ueesi. Kawasan KPH Ueesi seluas kurang lebih 150 ribu hektare ini termasuk dalam wilayah Kabupaten Kolaka Timur yang mencakup lima kecamatan yaitu Mowewe, Tinondo, Tirawuta, Ueesi, dan Uluiwoi. 

Kepala UPTD KPH UNIT XIV Ueesi, Charles Haryson Witak mengatakan luasan penyebaran anggrek serat ini belum diketahui. Upaya konservasi secara khusus terhadap anggrek serat ini belum ada, hanya memang karena kawasan KPH Ueesi termasuk hutan lindung maka secara tidak langsung tumbuhan jenis itu terlindungi dengan adanya aturan-aturan tentang hutan lindung.

Inti dari status hutan lindung adalah melindungi tumbuh-tumbuhan tertentu, hewan langka, tanah, dan air serta tidak boleh dikelola. Namun di tengah luasnya lahan pegunungan, personel KPH Ueesi yang hanya 9 orang cukup terbatas untuk secara total mengawasi aktivitas masyarakat di dalam kawasan hutan.

“Kalau ancaman terhadap tanaman jenis itu pasti ada. Yah namanya kehidupan inikan, tambah hari tambah banyak masyarakat, tambah banyak yang mencari makan di hutan. Apalagi anggrek itu diperjualbelikan. Jadi  jumlahnya bisa saja berkurang atau hilang,” ujar Charles, 19 April 2022.

Charles memastikan bila merujuk pada aturan tentang hutan lindung, maka tanaman seperti anggrek serat tidak boleh diambil. Namun persoalannya, yang mengambil dalam kawasan hutan lindung tidak dilihat dan anggrek serat menjadi bahan baku dalam pembuatan peralatan adat sejak dahulu kala. 

Salah satu solusinya adalah harus ada program dengan anggaran khusus untuk lokasi tumbuhnya anggrek serat. Namun kata Charles, hingga saat ini belum ada kegiatan khusus terkait pengawasan dan pengamanan anggrek serat yang notabene merupakan ciri khas Sulawesi Tenggara.

Populasi Anggrek Serat  

Peran pengelola kawasan terhadap upaya konservasi anggrek serat penting. Sebab terjadi perubahan distribusi anggrek serat karena adanya perubahan pada habitatnya akibat penebangan liar dan perubahan tutupan lahan sehingga kondisi lingkungan berubah.

Hal itu berdasarkan hasil penelitian Arifani Rahmawati dengan judul “Distribusi dan Pemanfaatan Anggrek Serat (Dendrobium Utile) di Sulawesi Tenggara”. Penelitian tesis sebagai tugas akhir dalam meraih gelar magister di Universitas Gajah Mada (UGM) itu dilakukannya pada September 2019 hingga April 2020.

Pengamatan anggrek serat pada habitatnya dilakukan di Mowewe, Kolaka Timur. Lokasi ini dipilihnya karena adanya kegiatan pemanfaatan yang masih dilakukan. Pada saat eksplorasi, ia menemukan anggrek serat pada ketinggian 1.378 mdpl yakni di Pegunungan Ulu Mowewe, Kecamatan Mowewe.

Lokasi tersebut memiliki kondisi lingkungan sejuk, sehingga pada batang-batang pohon ditumbuhi moss atau lumut. Adanya lumut inilah sebagai media tumbuh bagi anggrek serat. Ia menemukan anggrek serat menempel pada batang pohon, sela-sela batang atau banir, di antara percabangan dan pada tengah percabangan di mana bagian tersebut memungkinkan adanya akumulasi lumut sebagai substrat tumbuhnya anggrek.

Pada tahap inventarisasi, Arifani menemukan kelimpahan anggrek serat di wilayah Mowewe adalah 1 rumpun per hektar. Meskipun berada pada kawasan lindung, habitat anggrek serat menghadapi gangguan, berupa perubahan iklim dan tekanan manusia yang terus mendegradasi hutan. Hal ini ditandai dengan keberadaan anggrek serat yang dulunya berada pada ketinggian sekitar 800 MDPL, tapi kini baru dapat ditemukan pada ketinggian di atas 1.300 MDPL.

“Dikatakan berkurang di  tugas akhir saya berdasarkan titik penemuan anggrek yang semakin jauh/tinggi lokasinya dari lokasi awal ditemukannya anggrek menurut info dari pencari anggrek. Perubahan iklim, penebangan liar dan alih fungsi lahan di sekitarnya menjadi indikasi penyebabnya,” kata Arifani, 10 Mei 2022. 

Soal pemanfaatan anggrek untuk keperluan adat, Arifani menjelaskan bahwa memang seringkali jenis endemik dimanfaatkan oleh masyarakat tradisional. Oleh karena itu, pemanfaatan tumbuhan dalam keperluan adat mestinya diarahkan pada perlindungan atau konservasi lingkungan alam serta sumber daya yang ada di dalamnya sesuai dengan pengetahuan, praktek-praktek, kepercayaan dan prioritas dari masyarakat asli.

Hasil anyaman dari bahan baku anggrek serat.

“Pengrajinnya masih eksis, tetapi sekarang sudah berkurang, sementara nilai anggrek serat masih ‘mahal’ di mata sebagian masyarakat yang mengerti. Jadi pengambilan masih ada meskipun tidak sebanyak dulu untuk anyaman. Pernah ada yang coba membudidayakan tapi gagal karena tidak cocok kondisi lingkungannya,” ujar Arifani.

(Baca: Lintas Generasi Pengrajin di Konawe, Hasilkan Anyaman Tolaki Bernilai Tinggi dari Anggrek Serat)

Oleh karena itu, menurut Arifani konservasi anggrek serat perlu dilakukan karena menunjang keberlanjutan budaya Tolaki. Anggrek serat yang lestari menjadi kunci agar pemanfaatan dapat terus dilakukan. (***)

Penulis: Muhamad Taslim Dalma