Tidak Masuk Percaturan Sastra Nasional, Ini Gambaran Kesusastraan Sulawesi Tenggara

Sastrawan Nasional Asal Sulawesi Tenggara (Sultra) Raudal Tanjung Benua (kiri) bersama penyair Sultra Syaifuddin Gani dalam Acara Temu 40 Penyair Muda Sultra di Kantor Bahasa Prov. Sultra, Jum'at (1/5/2015). Foto: Dok. Penulis.
JENDELASULTRA.BLOGSPOT.COM, KENDARI - Mayoritas sastra Indonesia selalu diidentikkan dengan Jakarta (jawa) dan Sumatra. Wilayah itu menjadi kiblat kepenyairan tanah air. Hal ini membuat tokoh dan karya sastra di daerah seperti halnya Sulawesi Tenggara (Sultra) tidak dikenal dalam percaturan sastra nasional.

Tidak diperhitungkannya Sultra ini dalam peta sastra nasional dapat dilihat dari tidak adanya karya-karya lokal Sultra yang masuk dalam kurikulum pendidikan nasional. Hal itu kata sastrawan nasional asal Sultra Raudal Tanjung Benua telah membuat siswa hanya mengenal karya sastra asal Jakarta dalam buku sekolahnya.

Berdasarkan data dari Ahid Hidayat (2009) satu-satunya buku sejarah sastra Indonesia yang mencatat geliat sastra Sultra adalah Pengantar Sejarah Sastra Indonesia Oleh Yudiono K.S. Sampai saat ini, Raudal belum menemukan referensi yang cukup untuk "mencantumkan" sastra Sultra dalam peta kesusastraan tanah air. Hal ini memprihatinkan padahal Sultra memiliki tradisi sastra bukan hanya lisan seperti di dalam berbagai ritual melainkan juga tertulis sepeti penulisan kabhanti di Buton.

Berbicara mengenai potensi kepenyairan Sultra saat ini, Raudal bercerita kepenyairan Sultra sudah tergeret sejak kehadiran Teater Sendiri dengan Achmad "Stone" Zein yang sebenarnya tidak pernah sendiri. Sebab setelah itu berlahiran sosok-sosok yang melanjutkan tradisi bersastra (berteater) di Kendari Khususnya dan Sultra umumnya. Muncul Nama-nama seperti Syaifuddin Gani, Irianto Ibrahim, Galih, Adhy Rical, Frans Patudungan, Amiruddin Ena, Iwan Konawe, dan Ilham Q. Moehidin. 

Sebenarnya Kata Raudal, dengan melihat lebih ke belakang, sekitar tahun 60-an komunitas sastra di Sultra sudah pernah ada yakni Ikatan Seniman Sulawesi Tenggara (Ika Sastra) dan Ikatan Seniman dan Budayawan (ISBAS). Tokoh-tokohnya antara lain Heri Iman Nur, Munawar Fatiha, Nor Satega Ali, Saleh Manja,  Sarham D.T. dan Muh. Edi Sul. 

"Jangan lupakan bahwa daerah ini sudah memiliki sastra berabad lampau, dengan tokoh dan karya yang abadi hingga kini. Ya. Kabhanti Muhammad Idrus Qaimuddin, Bula Malino, dan segala hal menyangkut tradisi kepujanggaan di Keraton Buton, adalah modal besar yang harus dibangkitkan," Kata Raudal dalam acara temu 40 penyair muda Sultra di Kantor Bahasa Prov. Sultra, Jum'at (1/5/2015).

Bukan hanya di Sultra, banyak sekali di daerah lain yang tidak muncul dalam percaturan sastra nasional. Olehnya kata Raudal, penyair muda Sultra saat ini perlu lebih kreatif dalam membuat jalan sendiri untuk memperkenalkan sastra lokal Sultra.

Sementara itu, penyair Sultra Syaifuddin Gani mengatakan kini penyair lokal Sultra terus bermunculan dengan karya-karyanya yang tidak kalah dengan kesusastraan Jakarta dan Sumatra. Para penyair itu berasal dari Kendari, Bau-Bau, Kolaka, Muna, Konawe, dan kabupaten lainnya di Sultra.

"Jika terus bangkit seperti sekarang ini maka dengan sendirinya akan turut diperhitungkan dan bisa masuk dalam peta sastra tanah air," Kata Syaifuddin.

Penulis: Muhamad Taslim Dalma (Jurnalis ZonaSultra.Com)