KEBUN JAGUNG -Seorang kakek pekebun jagung sedang membersihkan rumput yang mengganggu tanaman jagung di kebun miliknya, tepatnya di Kecamatan Tongkuno, Muna pada awal 2018 lalu. (Foto: Dok. Penulis) |
Pada masa penjajahan maupun setelah memasuki orde lama dan orde baru, bahan makanan masih terbatas. Pada masa-masa itu, kebun jadi andalan untuk menghasilkan bahan makanan, sekaligus menjadi simbol kemandirian. Mandiri karena mereka bisa bertahan hidup hanya dari hasil kebun dan bertukar hasil kebun, di samping berburu dan melaut.
Namun demikian, tanaman seperti jagung ditanam hanya berdasarkan musim yang terbaca dari datangnya hujan. Sehingga perlu ditaktisi bagaimana caranya agar bahan makanan awet disimpan dalam jangka waktu puluhan tahun.
Orang Muna menemukan cara untuk menyimpan cadangan makanan agar tetap awet dan dapat dimakan. Cadangan makanan yang dapat disimpan lama adalah jagung dan kabuto (ubi kayu yang dikeringkan).
Untuk menyimpan jagung itu, mereka memiliki cara khusus, dapat disebut seni menyimpan jagung bernama ‘kabhaleko’. Tata cara membuat kabhaleko pun harus hati-hati, dibuat sedemikian rupa agar rayap, kutu, tikus, dan hama lainnya tidak dapat menghancurkan isi jagung.
Sedikit kesalahan dalam penyusunan jagung dengan metode kabhaleko, kutu yang dinamakan ‘bubu’ akan mengancurkan berton-ton jagung hanya dalam sekali serang. Olehnya orang Muna, mengembangkan tata kabhaleko yang tepat. Seni menyimpan cadangan makanan itu berlanjut dari generasi ke generasi.
Selain kabhaleko ada pula yang disebut kapanto untuk penyimpanan jangka pendek. Pada masa sekarang ini yang biasa dilakukan masyarakat hanya kapanto sedangkan kabhaleko sudah hampir tidak ditemukan lagi. Sebab tidak lama usai panen jagung, masyarakat langsung menjualnya untuk keperluan lain, misalnya membeli beras.Kapanto merupakan penyusunan jagung dalam sebuah petak persegi (biasanya 2x2 meter atau lebih) di dalam pondok kebun atau rumah. Buah jagung yang belum dikupas kulitnya disusun secara vertikal (tegak lurus) hingga penuh dalam satu petak penyimpanan. Petak penyimpanan biasanya dari batangan kayu.
Sementara kabhaleko, adalah penyimpanan jagung dalam sebuah petak. Petak kayunya sama seperti kapanto, bahkan bisa lebih luas karena jagung yang disimpan lebih banyak. Karena memang untuk jangka waktu yang lama maka petaknya ada di atas loteng rumah. Dalam petak itu, buah jagung yang belum dikupas kulitnya, disusun miring mengikuti kemiringan atap.
Di bawah loteng ada tungku batu pembakaran atau dapur tempat memasak. Asap dari pembakaran kayu itu yang akan selalu masuk ke loteng. Walhasil Jagung dalam kabhaleko kebal dari serangan rayap, kutu, tikus dan hama lainnya. Sebab, suhunya yang selalu hangat, tepat berada di bawah atap rumah dan selalu penuh asap. Selain itu, susunannya yang rapi dan kuat membikin tikus hanya dapat memakan yang ada di bagian lapis terluar kabhaleko.
Dengan metode penyimpanan kabhaleko yang demikian itu, jagung dijamin dapat bertahan puluhan tahun. Jagung dalam kabhaleko itulah yang pada zaman dahulu membentengi para masyarakat dari ancaman kelaparan, dan terbantu bila terjadi anomali cuaca yang menyebabkan gagal panen.
Jagung yang disimpan lama tidak bisa lagi jadi bibit. Makin lama disimpan makin keras dan semakin kebal pula terhadap serangan rayap. Jagung yang disimpan puluhan tahun, warna bijinya akan tampak merah.
Jagung yang sudah tahunan disimpan biasanya dimasak jadi kambuse (kuliner khas Muna). Hanya saja kalau jagung belasan tahun ada dalam kabhaleko, memasaknya bisa sampai setengah hari, beda dengan jagung yang belum lama disimpan dapat dimasak kambuse hanya dalam waktu dua jam.
Agar isi kabhaleko tak habis-habis, buah jagung diambil sedikit-sedikit untuk dimasak, dengan hitungan sekali makan. Kemudian, Kabhaleko terus diisi setiap kali musim panen telah tiba. Dengan metode keluar-masuk itu, kabhaleko selalu penuh dengan buah jagung, sebagai cadangan makanan.***
Penulis: Muhamad Taslim Dalma