Menikmati Aneka Menu Kekinian di Rumah Makan “Saranghae” Kendari

Rumah makan "Saranghae" di Kota Kendari. “Saranghae” dari Bahasa Korea, artinya “aku cinta”. Menu yang disajikan berupa makanan-minuman kekinian.
JENDELASULTRA.BLOGSPOT.COM – Di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, yang dikenal juga sebagai Kota Lulo, ada begitu banyak kedai dan rumah makan yang menyajikan beragam menu tradisional hingga modern. Bagi Anda yang ingin bersantai dan bersantap di tempat yang sederhana ataupun ingin pesan antar, dengan harga tidak menguras isi kantong, tapi istimewa. Rumah makan “Saranghae” patut dicoba.

Seperti namanya “Saranghae” yang diambil dari Bahasa Korea, artinya “aku cinta”. Selain karena ibu pemilik rumah makan ini penggemar korea, juga yang ingin dihadirkan adalah rasa “cinta” terhadap aneka menu makanan dan minuman yang dibuatnya, serta tidak ingin mengecewakan pelanggan. Atas dasar prinsip ini, bahan-bahannya dibuat dari bahan berkualitas.

Beberapa jenis makanan yang disediakan misalnya nasi goreng merah per porsi seharga Rp25 ribu, chickbong honey sauce (ayam karage krispy dibalur saus madu ala korea) Rp20 ribu, chicbong sambal matah (ayam karage krispy dengan taburan sambal matah yang pedis di mulut) Rp20 ribu. Selain itu, ada juga menu dari daging sapi, adalah pallubasa khas Makkasar seharga Rp20 ribu.

Minuman yang dapat dipilih juga beraneka ragam, yang tidak hanya akan memanjakan mata tapi juga memanjakan lidah. Dengan porsi yang lumayan jumbo, misalnya  dengan rata-rata harga Rp 15 ribu per porsi adalah green tea ice blend, ice blend choco swiss, ice blend choco oreo, dan masih banyak lagi.

Lalu ada pula tart susu 20 cm dengan tiga jenis yaitu original, cokelat, dan pandan. Jenis kue lainnya adalah mini pie susu, pie susu, boba cheese foam cake, dan pudding choco regal. Tersedia pula kentang goreng bagi yang sedang tak ingin memesan kue.

Dengan adanya aneka kue itu, maka tentu bukan saja untuk makan siang atau makan malam. Sarapan pagi pun bisa lewat warung makan ini, kue tinggal dipadukan dengan hot coffee, maupun minuman hangat yang ingin dibuatkan.

Lalu, apakah nama-nama yang keren sebanding dengan rasa dan kualitasnya? Pertama tentu Anda harus mencobanya langsung atau memesannya untuk diantarkan. Kedua mari perhatikan uraian berikut tentang  tiga jenis menu dari rumah makan tersebut.



*Greentea Ice Blend

Sekilas penampakannya sama seperti ice blend yang banyak dijajakan di beberapa warung pinggir jalan. Mulai dari bahan es yang diblender hingga campuran susu kental manisnya.  Namun tidak demikian dengan rasanya, lebih lembut dan tidak begitu pekat rasa teh hijaunya.

Greentea Ice Blend di Saranghae ini tidak menggunakan bubuk atau teh hijau pada umumnya, tapi dari potongan daun teh hijau yang direbus sendiri. Hal ini menjadi pembeda sekaligus menimbulkan cita rasa yang khas.

*Pallubasa Khas Makassar

Kata “khas Makassar” tidak asal ditempelkan, tapi memang boleh dibilang tidak kalah dengan yang ada di Kota Makassar. Rasa potongan daging sapinya gurih berpadu dengan kuah, disajikan hangat dalam sebuah mangkuk.

Mengapa dikatakan tidak asal, karena memang daging has dibawa langsung dari Makassar Sulawesi Selatan. Daging sapi dari Makassar dirasa lebih enak dan empuk. Hal ini juga turut membedakan dengan sajian-sajian rumah makan lain di Kota Kendari.

*Nasi Goreng Merah

Disajikan dalam mangkuk, di dalam nasi goreng ada beberapa potongan seafood dan di atasnya ditaburi kerupuk. Warnanya merah lagi cerah dan rasanya gurih, mungkin karena perpaduan bumbu dan saus yang memang sengaja didatangkan dari luar Kota Kendari yang dinilai lebih standar dan berkualitas.

Tiga deskripsi jenis sajian itu, mungkin hanyalah gambaran kecil tentang rumah makan ini. Yang pastinya apa yang disajikan,  sejalan dengan prinsip pemilik warung ini yang tidak ingin dianggap menyajikan menu “kaleng-kaleng”.

Bagi anda yang tertarik dengan rumah makan ini, bisa langsung membuka google map di handphone. Tulis “Saranghae” akan muncul alamat dan gambar-gambar sajian dan tampilan tempatnya, atau klik di sini.

Alamat lengkapnya di JL. Y. Wayong By Pass No. 55 C Lepo-lepo atau untuk pesan antar bisa menghubungi lewat telpon maupun WhatsApp di nomor 082293931111.


Penulis: Muhamad Taslim Dalma 

Mengapa Raja Buton dan Raja Muna Dikisahkan Lahir dari Bambu, Ini Jawabannya


JENDELASULTRA.BLOGSPOT.COM,- Raja Buton pertama dikisahkan adalah seorang ratu, bernama Wakaka. Ia diceritakan pertama kali muncul dari bambu. Begitu pula Raja Muna pertama, Baizulzaman alias La Eli juga dikisahkan lahir atau pertama kali kemunculannya juga dari bambu.


Cerita-cerita tersebut terawat dengan baik melalui cerita rakyat yang dituturkan secara lisan. Dalam beberapa kisah kerajaan lain di Indonesia juga sama, bahwa raja pertama mereka lahir dari bambu. Tak hanya di Indonesia, di Jepang ada cerita rakyat tentang putri lahir dari bambu yang kemudian dilamar oleh lima pangeran. Putri itu kemudian tidak jadi menikah dan kembali ke tempat asalnya di bulan.

Bambu arti dasarnya adalah tanaman jenis rumput-rumputan yang tumbuh berumpun dengan rongga dan ruas di batangnya. Bambu tidak hidup sendiri tapi berkelompok membentuk berumpun. Daun bambu yang rimbun dengan dahan yang menjulan tinggi cocok jadi pohon pelindung. Secara ilmiah manusia semestinya lahir dari rahim manusia, begitu pula badan manusia tidak akan muat dalam sebatang bambu. Dapat disimpulkan bahwa bambu di situ adalah sebuah mitos, yang menyimbolkan sesuatu.

Dalam penelitian penulis “Mitos dalam Cerita Rakyat Muna”, bambu merupakan kode simbolik yang mengandung banyak makna dan nilai. Penjelasannya adalah sebagai berikut.

1. Keluarga Besar yang Saling Menopang
Dalam cerita rakyat Muna, bambu yang merupakan tempat muncul tokoh Baizulzaman dapat dimaknai bahwa asal yang dimaksud adalah sebuah keluarga besar sesuai sifat-sifat dasar bambu yang hidup berumpun, tidak sendiri-sendiri.

Dalam rumpun bambu terdapat akar kuat yang saling menopang, begitu pula dalam sebuah keluarga besar yang saling menopang dengan tolong menolong dan saling membantu. Makna yang  disampaikan bahwa raja yang berasal dari bambu adalah berasal dari keluarga besar yang sesama anggota keluarganya saling menguatkan seperti rumpun bambu.

2. Sumber Kehidupan
Sumber kehidupan merupakan sesuatu yang dapat mempengaruhi kehidupan seseorang atau kelompok, misalnya makanan merupakan sumber kehidupan karena bila tidak makanan maka kelangsungan hidup tidak akan terjamin. Hal inilah yang ada pada makna “bambu”. Tunas bambu yang disebut rebung menjadi makanan dalam kehidupan manusia. Tunas bambu biasanya diiris tipis-tipis lalu dimasak bersama santan. Lewat cerita rakyat, raja ingin digambarkan sebagai sosok pemimpin yang dapat diandalkan dalam persoalan sumber kehidupan.

3. Pemberi perlindungan
Bambu memiliki daun rimbun yang tidak akan ditembus panas matahari. Bagi orang yang berada di bawah rumpun bambu tidak akan merasa kepanasan tapi kesejukan. Raja dimitoskan berasal dari bambu dapat bermakna bahwa masyarakat mengisyaratkan pemimpinnya yang dapat melindungi seperti sifat-sifat rumpun bambu yang dapat melindungi. Sebagai penguasa dan pemimpin maka harus melindungi rakyat yang dipimpinnya.

4. Pemimpin Bijaksana
Sebatang bambu di awal tumbuhnya tegak lurus ke atas, namun semakin tinggi maka dahan bambu akan semakin membungkuk. Maknanya adalah sebuah sikap rendah hati dan kebijaksanaan dalam artian semakin tinggi suatu jabatan maka tidak boleh semakin menyombongkan diri. Dalam mitos tentang bambu, pemimpin digambarkan seperti bambu yang semakin tinggi ilmu dan kekuasaannya maka semakin menghormati orang lain sebagaimana bambu yang sudah tinggi akan selalu membungkuk. Sikap yang demikian disebut sikap yang merendah tanpa menghilangkan wibawa.

5. Bermanfaat bagi orang lain
Dalam kehidupan manusia, bambu memliki beragam manfaat. Batang bambu digunakan dalam berbagai keperluan misalnya untuk konstruksi rumah, alat memasak, bahan kerajinan dan dekorasi, pagar, tongkat, bahkan tandu untuk keranda mayat terbuat dari bambu. Dalam mitos tentang bambu yang menjadi asal raja, dapat dimaknai bahwa seorang pemimpin memiliki nilai manfaat bagi sesamanya ataupun rakyat yang dipimpinnya.


Kisah Raja Muna Lahir dari Bambu dalam Cerita Rakyat

JENDELASULTRA.BLOGSPOT.COM,- Alkisah di Pulau Muna, jazirah Sulawesi Tenggara ada kerajaan. Raja yang paling berpengaruh diketahui bernama Baizulzaman atau dikenal juga dengan nama La Eli. Cerita ini termuat dalam tesis berjudul “Mitos dalam Cerita Rakyat Muna” yang ditulis oleh penulis sendiri.

(Baca juga: Cerita Rakyat Muna: Pasangan Kawin Lari Berubah Jadi Buaya)

Cerita tentang Raja Muna Baizulzaman ini dituturkan secara lisan oleh masyarakat Muna. Dari cerita yang dituturkan secara turun-temurun inilah, penulis berhasil menghimpun cerita lengkap tentang Raja Muna yang dimitoskan lahir dari bambu.

Berikut kisah tentang Raja Muna Baizulzaman.

Singkat cerita, awal mulanya putri Raja Luwu bernama Tendi Abe terdampar di pantai Pulau Muna. Tendi Abe diambil masyarakat bersama imam setempat langsung dibawa ke seorang raja bernama Wamelai. Raja ini menguasai hanya sebagian wilayah Muna, tidak sebesar kerajaan Baizulzaman.

Wamelai menyambut Tendi Abe dengan baik bahkan dibuatkanlah kamar khusus di istana. Kondisi Tendi Abe ketika terdampar itu dalam keadaan hamil dan akan segera melahirkan. Tidak lama kemudian ia mengidam ingin makan rusa. Maka pergilah orang-orang suruhan Raja Wamelai berburu. 

Saat mereka berburu, selalu muncul sebatang pohon bambu. Bambu itu sebatang kara di dalam hutan, tidak ada anakan tunasnya hanya sebatang berdiri. Cukup tinggi bambu itu, tidak seperti tingginya badan manusia. 

Maka pulang orang-orang yang berburu melaporkan hal itu. Setelah itu, Raja Wamelai berkata “coba ambil bambu itu, mungkin apa”. Maka pergilah lagi mereka. Pada saat ditebas bambu itu mengeluh “aduduh kakiku”. Sejenak, tidak jadi lagi yang ditebas karena bambu mengeluh kesakitan. Ditebas lagi agak bagian atas tapi tidak mampan, “aduduh lututku” kata bambu itu. Tebas lagi di atas “aduduh pinggangku”, mereka tebang ke atas “aduduh kepalaku” katanya. 

Para utusan raja itu kemudian mengangkat bambu itu, mencabut dengan akar-akarnya lalu dibawa pulang. Mereka masukan di kamar Tendi Abe. Dalam ruangan kamar itu, begitu sunyi dari orang-orang, bambu itu langsung meledak-ledak, ternyata menjadi manusia. Dialah Baizulzaman, yang dinamakan juga La Eli, orang berkekuatan khusus.

Baizulzaman dipercaya merupakan anaknya Hamzah Bin Abdul Muthalib sahabat Nabi Muhammad. Dalam perkembangannya, Baizulzaman hidup dalam lingkungan istana Raja Wamelai.  Baizulzaman inilah yang menikah dengan Tendi Abe.    

Baizulzaman di kemudian hari menjadi Raja Muna di tingkatan paling atas penguasa besar, menggantikan Wamelai. Wamelai tidak lagi menjadi raja termasuk keturununannya. Keturunan Wamelai diturunkan di tingkatan salah satu penguasa bawah, penguasa itu yang terbagi dalam empat wilayah. Empat wilayah kekuasaan terbagi atas kekuasaan Tongkuno, Kabawo, Lawa, dan Katobu.  Sedangkan Raja Muna selanjutnya adalah keturunan Baizulzaman.

Cerita tersebut hanya dituliskan secara singkat oleh penulis. Cerita lebih lengkap ada pada penulis, tentang bagaimana Tendi Abe bisa terdampar di Muna dan lain sebagainya.

(Baca juga: Cerita Rakyat Muna: Kenta Wandiudiu, Seorang Ibu yang Menjadi Ikan)

Penulis: Muhamad Taslim Dalma 

Ajakan Persatuan dalam Lagu Muna: Tampo Napalano

JENDELASULTRA.BLOGSPOT.COM,- Salah satu lagu daerah dari Kabupaten Muna yang tak lekang oleh waktu adalah “Tampo Napabalano”. Lagu ini tentang tanah kelahiran dan ajakan untuk hidup rukun dan bersatu dalam sebuah rumpun keluarga.

Dari penelusuran penulis, lagu ini diciptakan oleh seorang sarjana pendidikan bernama Masrin Abidin. Salah satu yang menyanyikan lagu ini adalah Harry Setiawan yang diproduksi oleh label rekaman Megaswara.

Ajakan untuk bersatu dan hidup rukun tampak pada lirik “Hintumo basitie, mosi-mosirahaku. Doseise mana sokaetahano liwunto ini”. Artinya “kamulah keluarga yang sangat dekat mari kita bersatu untuk kebaikan kampung kita ini”.

Sementara, lirik yang membuat pendengarnya untuk mengingat kampung halaman adalah “Witonu Wuna ntiarasi, Tampo mina limpuhanea. Newatumo Kalembohano Reaku”. Artinya “Tanah Muna yang disayang, Tampo tak akan kulupakan. Di sanalah tumpah darahku”. Kata “kalembohano reaku” bisa juga berarti tempat kelahiran. Secara arti kata “lembo” adalah kolam dan “rea” adalah darah.

Cover lagu daerah Muna: Tampo Napabalano. 

Berikut lirik lagu Tampo Napabalano.

O... Tampo Napabalalo
Newatumo witeno kalentehaku
Noponogho barakati nekakakawasa
Sampe mate Tampo mina limpuhanea

O... Tampo napabalano 
Newatumo witeno kalantehaku
Noponogho barakati nekakakawasa
Sampe mate Tampo mina limpuhanea

Hintumo basitie, mosi-mosirahaku 
Doseise mana sokaetahano liwunto ini 
Witonu Wuna ntiarasi, Tampo mina limpuhanea 
Newatumo kalembohano reaku. 

Terjemahan lagu itu adalah sebagai berikut. 

O... Tampo Napabalalo (Tampo merupakan kelurahan sedangkan Napalano satu tingkat di atasnya yakni kecamatan. Wilayah ini masuk dalam administrasi Kabupaten Muna)
Newatumo witeno kalentehaku (Di sanalah tanah kelahiranku)
Noponogho barakati nekakakawasa (Penuh dengan berkah dari Tuhan yang Maha Kuasa)
Sampe Mate Tampo Mina Limpuhane (Hingga mati pun Tampo tak akan kulupakan)

Hintumo Basitie, Mosi-mosirahaku (Kamulah keluarga yang sangat dekat)
Doseise mana sokaetahano liwunto ini (Mari kita bersatu untuk kebaikan kampung kita ini)
Witeno wuna ntiarasi, Tampo mina limpuhanea (Tanah Muna yang disayang, Tampo tak akan kulupakan)
Newatumo Kalembohano Reaku (di sanalah tumpah darahku).

Penulis: Muhamad Taslim Dalma

Manfaat Kelor: Agar Cepat Hamil hingga Menetralkan Zat Berbahaya


"Secara rutin si laki-laki mengkonsumsi biji kelor sedangkan wanita mengkonsumsi kembang kelor. Bila sudah hamil maka istri harus berhenti mengkonsumsi bunga kelor karena dipercaya tidak baik untuk kesehatan kandungan."
Daun kelor dan tepung kelor. Sumber foto : Sustainable Island Development Initiatives

JENDELASULTRA.BLOGSPOT.COM - Dari akar, daun, hingga kembang, tanaman kelor memiliki manfaat yang sangat besar bagi manusia. Dari beberapa informasi yang dihimpun, tanaman kelor bermanfaat bagi yang mengkonsumsinya di antaranya agar cepat dapat keturunan hingga menghilangkan zat berbahaya.

Salah satu daerah yang banyak mengembangkan tanaman kelor adalah Pulau Muna. Masyarakat setempat banyak membudidayakannya di pekarangan rumah. Bahkan, dimana-mana orang Muna tinggal, di pekarangan rumahnya pastilah ada pohon kelor. Mereka menggunakannya untuk bahan sayur bening, yang disebut “kadada katembe”. Namun soal manfaatnya, mungkin masyarakat hanya menganggapnya seperti sayur biasa.

Kelor di Muna, salah satu yang rekomended untuk dikonsumsi. Tanaman kelor tumbuh dengan subur di pulau yang tanahnya banyak ditemukan batu gamping dan berkapur. Bahkan di beberapa lokasi, kelor tumbuh di atas batu seperti di kampung Walengkabola, Tongkuno. Di daerah ini tanaman kelornya bercita rasa khas lagi enak, beda dengan kelor di tempat lain, sehingga saat dijual di pasar selalu dicari.

Cara Memasak Daun Kelor yang Tepat

Memasak daun kelor dengan benar maka kandungan nutrisi daun kelor tidak banyak berkurang. Caranya, bila air sudah mendidih maka matikan kompor lalu tuang daun kelor. Begitu pula bila daun kelor dimasak dengan bahan sayuran lain, saat air mendidih maka masukan terlebih dulu sayur lain kemudian matikan kompor lalu masukan daun kelor.

Daun kelor yang dipetik juga paling lama hanya dapat disimpan 4 jam. Setelah dipetik daun kelor sebaiknya segera dimasak. Semakin cepat dimasak maka rasa kelor semakin baik, jangan menunggu hingga daunnya layu. Kelor memang berbeda dengan jenis sayur-sayuran lain yang dapat disimpan di kulkas.

Kembang kelor. Sumber foto: Sustainable Island Development Initiatives

Manfaat Biji dan Kembang Kelor Agar Cepat Hamil


Manfaat mengkonsumsi buah dan kembang kelor adalah untuk cepat hamil atau mempermudah memperoleh keturunan bagi pasangan suami istri. Kendati demikian, belum ada rujukan penelitian ilmiah tentang ini, mungkin hanya dari pengalaman masyarakat saja.

Namun patutlah dicoba, sebuah metode yang tidak ada salahnya untuk dilakukan, toh memang buah dan kembang kelor sering dimakan oleh masyarakat Muna sebagai sayuran. Sehari-hari, buah dan kembang kelor itu dijadikan sayur bening. Soal rasanya, unik dan tetap enak untuk disantap.

Caranya adalah secara rutin si laki-laki mengkonsumsi biji kelor sedangkan wanita mengkonsumsi kembang kelor. Bila sudah hamil maka istri harus berhenti mengkonsumsi bunga kelor karena dipercaya tidak baik untuk kesehatan kandungan. Namun berbeda dengan daun kelor yang memang baik untuk dikonsumsi ibu hamil.

Kandungan Nutrisi Daun Kelor

Kandungan gizi daun kelor dijelaskan dalam buku “Sustainable Island Development Initiatives” (SIDI) tahun 2016. Dinyatakan bahwa tanaman kelor mempunyai kandungan protein, kalsium, zat besi, vitamin C, dan karotin yang tinggi.

Menurut tim penulis buku itu, tanaman kelor cocok ditanam di wilayah yang kekurangan nutrisi. Kelor juga dapat berperan penting untuk menjadi sumber pangan dan obat-obatan.

“Di Afrika, daun kelor digunakan untuk membersihkan air minum dari kandungan zat-zat yang tidak diinginkan. Kelor dapat menyelesaikan persoalan pangan dan kesehatan di dunia,” dikutip dari SIDI.

Lebih lanjut dijelaskan, di Indonesia dan India, kelor merupakan tanaman yang dikenal mempunyai kekuatan supra natural dan banyak digunakan dalam beberapa ritual. Daun dan buah kelor juga dimanfaatkan sebagai masakan sayur asam yang berwarna bening.

Penulis: Muhamad Taslim Dalma

Legenda Fotografer Kendari, 37 Tahun Jadi Tukang Potret

Om Anjas adalah seorang fotografer di Kota Kendari.
JENDELASULTRA.BLOGSPOT.COM – Satu-satunya orang yang paling lama menjadi fotografer di Kota Kendari adalah Anjas. Nama lengkapnya Anjas Sugio, orang-orang lebih mengenalnya dengan sapaan “Om Anjas”.

Pria kelahiran 1958 ini menjadi tukang potret sejak tahun 1982 silam. Saat menjadi fotografer, usianya terhitung menginjak 24 tahun.  Pada tahun 2019 ini, dia sudah 37 tahun menjalani profesi itu. Entah sudah berapa wajah yang diabadikan melalui lensa kameranya.

Selama 3 dekade lebih wara-wiri, motret sini motret sana, sungguh waktu yang sangat panjang, sehingga tak sedikit orang menganggapnya sebagai legenda perfotograferan di Kota Sinonggi.

Awalnya dia menjadi fotografer di daerah asalnya Wawonii (Konawe Kepulauan) pada 1982 dengan berkeliling kampung. Bermodal kamera analog (kamera yang masih mengandalkan roll film), Anjas muda keliling menawarkan jasanya.

Lalu pada tahun 1985, Anjas meninggalkan Wawonii. Dia mencoba peruntungan dengan datang di Kota Kendari, Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tenggara. Di tahun-tahun ini Anjas banyak mendapatkan pelanggan warga Gunung Jati, dan Kota Lama Kendari. Anak-anak di Kecamatan Mandonga dan sekitarnya juga banyak yang tidak akan lupa dengan bidikan Anjas.

Di Gunung Jati, banyak warga ingin dipotret oleh Anjas. Langganannya bukan hanya orang tua tapi mulai dari anak-anak, ibu-ibu, hingga bayi tak luput dari jasa bidikan kameranya. Apalagi, ketika itu, jasa fotografer tak seramai sekarang ini dan smartphone belum lahir.

Pada tahun 2000-an ke atas hingga sekarang ini mulai menjamur fotografer dan studio foto di Kota Kendari. Plus teknonologi kamera smartphone luar biasa pesat kemajuannya. Bahkan beberapa anak-anak yang dulu dipotret oleh Anjas kini sudah menjalani profesi fotografer. Pun begitu, Anjas tetap dapat bertahan dan berakselerasi.

*Bertahan dengan Strategi
Tampilan Om Anjas terbilang nyentrik dan memiliki ciri khas tersendiri: memakai jas (kadang juga kemeja), wig (rambut palsu) tak pernah lepas, berkaca mata hitam, cincin batu akik di jari-jari, plus selalu menenteng kamera DSLR Canon EOS 1300. Kamera itu sudah cukup standar untuk seorang fotografer.

Keunikan lainnnya dari Om Anjas ini, tidak pernah memakai helem. Dengan motor (boleh dibilang sedikit butut), Anjas berkeliling Kota Kendari dengan bebasnya, mungkin satu-satunya orang di Kendari yang selalu lolos dari petugas.

Agar dapat bersaing-bertahan di dunia fotografer, Anjas menyasar kalangan elit mulai dari setingkat gubernur, kepala dinas, anggota DPRD, hingga bupati dan walikota. Anjas akan selalu hadir dalam pertemuan yang dihadiri oleh pejabat-pejabat tersebut.

Mengapa demikian? Karena banyak pelanggannya yang hendak mengabadikan momen bersama gubernur maupun bupati. Anjas tinggal membawa contoh foto yang sudah dicetak, ada pula contoh kalender.

Pelanggan tinggal memilih apakah fotonya perlu bingkai atau tidak, yang pastinya dalam hitungan setengah jam dan paling lama satu jam, pesanan foto sudah akan dibawakan Anjas di lokasi acara, saat pejabat masih ada, saat acara belum selesai. Pembayaran sudah pasti tunai lunas, apalagi kalau pejabat yang bayar foto itu, yah tidak banyak berhitung di hadapan orang banyak.

Gubernur Sulawesi Tenggara Ali Mazi dan Anjas
Kuncinya, usai memotret, Anjas dengan cepat tancap gas menuju studio foto langganannya, yang hasil cetakannya memang standar. Di studio itu sudah ada pilihan bingkai, tinggal diambil kalau pelanggannya memang perlu bingkai.

Begitulah sedikit cerita tentang Anjas. Tubuh boleh menua, zaman boleh berubah, namun ide kreativitas tak boleh tertinggal. Idenya, sebagaimana wig yang selalu mencitrakan jiwa muda, tak mengenal uban, tak ada namanya penuaan.

Penulis: Muhamad Taslim Dalma

Rahasia Kesempurnaan Hidangan Sinonggi Khas Sulawesi Tenggara

Makanan khas Sulawesi Tenggara, Sinonggi
JENDELASULTRA.BLOGSPOT.COM – Sinonggi adalah makanan khas Sulawesi Tenggara (Sultra) yang dibuat dari bahan dasar sagu. Sinonggi hanya mudah ditemui beberapa daerah Sulawesi Tenggara, dimana pohon sagu tumbuh subur.

Wilayah penyebaran pohon sagu paling besar ada di Kota Kendari, Konawe, Konawe Selatan, Konawe Utara, dan Kolaka Timur. Masyarakat yang berdiam di daerah-daerah ini terkenal ahli meracik sagu menjadi makanan khas sinonggi, khususnya dari suku Tolaki. Tak heran bila sinonggi juga disebut manakanan khas Tolaki.

Memasak sinonggi memang terlihat mudah karena hanya disiram air panas, diaduk-aduk lalu jadi. Namun sebenarnya tidak segampang itu (bagi yang belum ahli). Dalam keadaan tertentu sinonggi tidak akan jadi (tetap encer) meski sudah disiram air panas dan diaduk. Kadang pula sinonggi yang jadi begitu lengket, ada pula sinonggi yang berwarna keunguan. Ada pula yang masih bercampur kotoran.

Lalu apa rahasianya? Ternyata ada tata cara khusus untuk mendapatkan hidangan sinonggi yang putih bak kapas baru mekar, kenyal, tidak lengket, dan membangkitkan selera makan. Caranya, mula-mula tepung sagu dicampur air biasa dalam baskom, lalu didiamkan semalaman.

Proses itu, akan membuat tepung sagu putih mengendap, sementara kotoran dan tepung sagu yang agak coklat akan terangkat ke permukaan air. Setelah itu, airnya ditumpah dan yang tersisa adalah tepung sagu basah yang putih bersih.

Proses selanjutnya, sagu ditaruh di baskom, ditambahkan minyak (apa saja yang penting minyak kelapa) satu sendok makan dan perasan jeruk nipis. Lalu, disiram air mendidih dan aduk-aduk. Sagu yang yang telah disiram air panas harus terus diaduk hingga menggumpal dan percampuran air dan sagu merata hingga tidak ada bintik-bintik tepung.

Takaran antara air dan sagu harus disesuaikan. Bila terlalu banyak air maka sinonggi yang dihasilkan bening dan tidak begitu menggumpal, namun bila takaran airnya pas maka sinonggi yang dihasilkan tampak putih bersih dan kenyal. Manfaat ditambahkan minyak kelapa adalah agar sinonggi yang dihasilkan tidak lengket.

Penyajian Sinonggi
Sinonggi biasa disajikan dengan makanan khas lainnya yang berkuah seperti ikan palumara (hidangan ikan) dan ayam tawaloho. Penyajiannya, mula-mula piring diberi kuah ikan palumara, perasan jeruk nipis, dan lombok biji. Dari wadah, sinonggi digulung dengan dua batang sumpit lalu ditaruh di piring yang telah lengkap dengan kuah tadi.

Sinonggi yang masih hangat sangat tepat untuk segera dimakan, apalagi bila kuah ikannya juga yang masih hangat. Namun, bila sudah dingin, rasanya cenderung berbeda dan hanya sedikit orang yang menyukainya.

Cara menyantapnya pun berbeda-beda. Masyarakat lokal biasanya menggunakan dua jari atau tiga jarinya untuk mengambil sinonggi dalam piring. Mereka tampak ahli mengambil sinonggi itu, seperti gerakan mencubit lalu dengan sigap memasukan potongan sinonggi ke mulut. Namun bagi yang tidak terbiasa, maka menggunakan sendok adalah pilihan satu-satunya.

Tradisi Mosonggi
Ada sebuah kebiasaan dalam masyarakat Tolaki yang sepertinya sudah menjadi tradisi. Kegiatan itu disebut “mosonggi”. Kegiatan ini bentuk kumpul-kumpul antara anggota keluarga maupun sesama teman.

Mosonggi dilakukan dalam kelompok tertentu. Kebersamaan dan keakraban sangat terlihat dalam acara ini, mulai dari menyiapkan bahan-bahan masakan pendamping sinonggi hingga memasaknya pun bersama-sama.

Mosonggi tak hanya dilakukan dalam acara kumpul-kumpul biasa di rumah sendiri. Kegiatan itu juga dilakukan ketika acara-acara besar seperti bila ada resepsi pernikahan.

Hanya saja dalam resepsi pernikahan di atas meja hidangan biasanya tidak disajikan sinonggi. Mosonggi dilakukan oleh ibu-ibu maupun bapak-bapak yang beraktivitas di dapur.

Olehnya, ketika menghadiri resepsi pernikahan maka tamu harus memesan khusus di dapur, apakah masih ada sinonggi. Salah satu sebabnya, yah tadi itu, sinonggi enaknya dihidangkan dalam keadaan hangat.

Ketersediaan Sagu Terancam
Hingga tahun 2019 ini, ketersediaan sagu di Sulawesi Tenggara masih ada. Terbukti dari masih banyak tepung sagu yang dijual di pasar. Hanya ke depan tidak ditahu apakah sagu akan menjadi langka untuk didapatkan.

Lahan-lahan sagu saat ini banyak beralih fungsi misalnya menjadi lahan sawit maupun persawahan. Kondisi realnya ada di Kolaka Timur. Pada awal tahun (Januari-Februari) 2019 ini, masyarakat di sana berdemo dan ribut soal menuntut ganti rugi pohon sagu dari perusahaan sawit.

Tentang tanaman sagu di Provinsi Sulawesi Tenggara, dalam penelusuran penulis, menemukan bahwa produksi sagu paling banyak berasal dari Kabupaten Konawe. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2012, produksi sagu di kabupaten itu mencapai 2.298 ton pertahun.

Di Konawe, terdapat beberapa kecamatan sebagai penghasil sagu.  Ada satu kecamatan  yang produksi sagunya paling tinggi  yaitu di Kecamatan Bondoala (Konawe) dengan produksi 410 ton per tahun. Namun hal ini juga sepertinya tidak akan bertahan lama, sebab daerah itu juga sudah dimasuki sawit. Pohon-pohon sawit terlihat jelas bila melintasi Kecamatan Bondoala.

Data terakhir yang ada di situs BPS tentang produksi sagu di Sulawesi Tenggara, tercatat pada tahun 2014. Dilihat dari volume dan nilai perdagangan antar pulau, tanaman sagu tahun 2014 yaitu 2.754 ton produksinya per tahun.

Penulis: Muhamad Taslim Dalma

Cerita Tentang Haroa: Tradisi yang Mengharmoniskan Keluarga

Seorang modji/imam dalam proses haroa. 
JENDELASULTRA.BLOGSPOT.COM – Haroa sebagai sebuah tradisi bagi masyarakat Buton dan Muna bukanlah sekedar acara biasa. Haroa adalah proses bagaimana cinta dirawat, bagaimana kasih dipelihara, dan bagaimana sayang teraktualisasi. Dalam proses haroa terlihat betapa harmonisnya sebuah keluarga. Saling bergotong royong, saling memberi perhatian.
 
Dalam prosesinya, ada tokoh utama yang paling berperan yaitu ibu rumah tangga. Sang ibu si juru masak yang berbelanja, yang membuat hidangannya, yang mengkoordinir semuanya. Sedangkan suami dan anak laki-laki hanyalah tokoh pembantu. Sang ibu yang akan repot memasak dari pagi hingga sore di dapur, dan kalau ada, dibantu anak perempuan, nenek, serta saudara perempuan.

Baca jugaHaroa, Tradisi Masyarakat Muna-Buton Bernuansa Islami

Kaum laki-laki mengurusi pekerjaan yang berat-berat (butuh otot), mulai dari ambil kayu bakar, cari air, menyembelih ayam, cari janur kelapa, hingga soal angkat mengangkat yang berat. Selama persiapan hingga pelaksanaannya sangat tampak kekompakkan dan rasa persatuan keluarga. Semua berbagi peran, semua menyibukkan diri.

Acara haroa butuh persiapan sehari penuh. Apalagi, zaman dahulu sebelum zaman serba teknologi canggih seperti sekarang ini, sebelum tahun 2000-an. Sebelum tahun itu, serba tradisional dan khas kampung.

Dahulu persiapan menu makanan haroa dilakukan serba manual.  Misalnya parut kelapa, menghaluskan tepung beras, memasak harus menggunakan kayu bakar, dan tali pengikat lapa-lapa (makanan khas) harus dari tali bontu (kulit kayu yang dibuat jadi tali).
Keluarga di Muna yang sedang mengikat lapa-lapa (makanan khas) untuk sajian haroa. 

Salah satu yang paling sulit, adalah menghaluskan beras untuk bahan pembuatan cucur (kue khas). Sang ibu akan terbangun pada dini hari, saat subuh. Beras yang sudah dilembabkan dengan air ditumbuk dalam  lesung, dibantu suami yang lebih bertenaga. Betapa romantisnya, suami istri yang menumbuk demikian. Bergantian, satu menumbuk satu menyaring tumbukan.

Bayangkan, seisi kampung melakukan hal yang sama. Suara tumbukan lesung, bersahut-sahutan mengalahkan suara kukuruyu ayam jantan. Usai ditumbuk, hasil tumbukan disaring, tumbuk lagi, saring lagi. Hasilnya, tepung beras yang benar-benar halus, untuk dibuat kue cucur yang benar-benar renyah.

Baca juga: Makna Haroa Muna-Buton dan Alasan Ada Bakar Dupa dalam Prosesinya

Keakraban lainnya, adalah ayah dan anak laki-lakinya yang mempunyai tugas utama mempersiapkan ayam, untuk hidangan ayam parende (dimasak kuah dengan campuran daun kedondong). Kalau ada, dibantu kakek sebagai juru potong ayam.

Persoalannya, ayam di halaman mesti dikejar. Seperti mendapat firasat, ayam yang akan disembelih jadi begitu liar pada hari-hari haroa. Mungkin karena dari subuh sudah terusik dengan aktivitas keluarga yang tak biasa.

Ayah dan semua anak lelakinya akan bahu membahu mengejar. Seperti dalam film-film laga, saat seorang jagoan mengejar penjahat, menerjang semak melompati pagar. Kondisi terburuk, ayam yang lelah dikejar akan berdiam patung dalam semak belukar. Walhasil harus memanggil tetangga untuk memeriksa seisi halaman rumah. Tak jarang, penangkap ayam seperti kiper yang menerjang ke sisi kiri-kanan-depan apabila ayam berhasil ditemukan keluar dari semak.

Begitu ayam didapat, tak perlu lama, langsung potong, cabut bulunya. Soal cabut bulu ayam ini, lazimnya tidak boleh disiram air panas. Bulu ayam harus dicabut satu-satu. Betapa kerasnya bulu itu, apalagi kalau ayamnya sudah tua, terus yang mencabut anak-anak.

Sebelum dipanggang, isi dalamnya berupa hati dan tingkula (ampela) diambil oleh para lelaki sebagai bonus karena sudah capek mengurusi ayam. Ampela itu langsung dipanggang lalu dimakan saat itu juga, dengan catatan: hati hanya untuk orang tua (si ayah atau kakek). “Pemali” (terlarang) untuk dimakan anak-anak. Entah apa maksudnya, padahal hati ayam, salah satu bagian yang sangat bergizi.

Ayam lalu dipanggang di atas nyala dan bara api. Bulu-bulu halusnya semua terbakar habis. Rangkaian pengerjaan ayam yang demikian, membuat rasa ayam terkunci dan menimbulkan rasa dan aroma khas ketika sudah dimasak.

Tantangan terakhir dari acara haroa adalah mencari modji/imam kampung yang memang memiliki tugas untuk memimpin jalannya haroa dengan bacaan-bacaan doa islami. Persoalannya, jumlah modji ini sangat terbatas. Dalam satu kampung, paling hanya ada satu atau dua modji.

Saat musim haroa, di bulan ramadhan, seisi kampung masing-masing rumah menggelar haroa. Maka harus antri untuk dikunjungi modji. Karena acara haroa kebanyakan diselenggarakan malam hari (saat semua sajian makan sudah siap) maka tidak semua rumah dapat dikunjungi modji dengan cepat.
Berbagai jenis kuliner khas tradisional Muna-Buton yang disajikan saat acara haroa.
Hal demikian, membuat satu keluarga menunggu di depan sajian haroa yang sudah ditutup tudung saji. Apa boleh buat, sajian makanan yang sudah ditutup tudung saji tak boleh dibuka-buka lagi. Satu-satunya yang dapat membukanya adalah modji ketika selesai membaca doa haroa.

Baca juga: Begini Pelaksanaan Acara Haroa Berlangsung

Makanya, pengalaman acara haroa tengah malam adalah hal yang biasa pada zaman dahulu.  Di saat kantuk sudah membuai, tiba-tiba modji mengetuk pintu rumah. Kadang pula, biar modji tidak lupa, si anak lelaki yang akan pergi mengikuti modji ke rumah-rumah tetangga hingga akhirnya diantar ke rumah sendiri. 

Begitulah rangkaian pengalaman manis selama berharoa. Mereka yang besar dan kekar dalam tradisi Muna-Buton tak akan pernah melupakan hangatnya keluarga ketika pelaksanaan acara haroa. Di perantauan atau dimanapun berada pastilah akan selalu terkenang cerita-cerita yang demikian. 

Penulis: Muhamad Taslim Dalma

Keunikan Air Terjun Lantambaga, Banyak Buah Cempedak

Air Terjun Lantambaga di Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan. Airnya jatuh dari ketinggian 42 meter. Airnya mengalir dari tebing seperti tembok raksasa.  
JENDELASULTRA.BLOGSPOT.COM – Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan (Konkep) ternyata memiliki satu air terjun tersembunyi yang cukup indah. Namanya Air Terjun Lantambaga yang ada di Kecamatan Wawonii Tengah.

Air Terjun Lantambaga ini menambah daftar air terjun yang ada di Wawonii, yang lebih dikenal sebagai Pulau Kelapa. Yang paling terkenal saat ini di Wawonii memang Air Terjun Tumburano karena kemegahannya. Air Terjun Lantambaga ini unggul dari sisi keunikan kekayaan alam sekitarnya.

Keistimewaan wisata alam Air Terjun Lantambaga berbeda dengan lokasi wisata lainnya di Sulawesi Tenggara (Sultra). Sesuai namanya, warna airnya seperti tembaga, ikan dan udang di air itu berwarna tembaga, juga warna serupa terdapat dalam satu jenis buah bernama cimpedak. Pohon cempedak banyak tumbuh liar di sekitar Air Terjun Lantambaga.

Air terjun Lantambaga menyajikan panorama alam yang indah-alami, ditambah deruh air yang jatuh dari ketinggian 42 meter. Airnya mengalir dari tebing bak tembok raksasa. Aliran airnya menjadi sungai kecil nan jernih yang menambah kesejukan lokasi wisata yang satu ini.

Tepat di tempat jatuhnya air ada kolam yang cukup dalam, biasanya digunakan untuk berenang dan mandi.  Dalam kondisi tenang (tidak hujan deras), airnya sangat jernih-bening dan tidak berkapur. Bahkan alirannya menjadi sumber air bersih bagi masyarakat Wawonii Tengah.

Air Terjun Lantambaga ada dua, satu induk yang paling tinggi. Lalu satunya lagi berjarak sekitar dua ratus meter dari air terjun induk.  Di aliran airnya banyak terdapat bebatuan yang berlumut. Banyak lumut dimungkinkan karena air yang tidak mengandung kapur. 

Lokasi wisata ini hanya berjarak sekitar 5 kilometer dari Kota Langara (Konkep) dan hanya butuh waktu kurang dari setengah jam waktu tempuh untuk menikmati keindahan alam di hulu sungai Lampeapi itu.

Lantambaga memang adalah salah satu anak sungai yang bermuara di Sungai Lampeapi. Anak sungai ini memiliki keunikan tersendiri berdasarkan warna airnya. Sekali waktu warna airnya Sungai Lantambaga dapat berubah menjadi kuning pekat seperti tembaga.

Lantambaga berasal dari bahasa Wawonii yaitu “la” artinya sungai dan “tambaga” artinya tembaga. Jadi Lantambaga artinya sungai tembaga, tetapi belum ada penelitian ilmiah apakah memang  di Sungai Lantambaga itu mengandung unsur kimia tembaga.

Sungai di Wawonii yang airnya jernih. Dasar sungai penuh bebatuan dapat terlihat jelas. 
Kalau hujan deras kemudian banjir, airnya keruh atau kabur menyerupai warna tembaga, tidak sama seperti keruhnya (warna air) anak sungai lainnya. Kemudian bila sungai Lantambaga banjir maka mempengaruhi warna air di Sungai Lampeapi sebagai sungai induk.

Bukan hanya tanah dan batunya saja yang menyerupai warna tembaga, tetapi  udang dan beberapa jenis ikan yang hidup di sungai Lantambaga juga menyerupai warna tembaga. Meski berwarna demikian tetap bisa dimakan udangnya.

Dahulu di sungai itu banyak terdapat udang  seukuran jari tangan. Warga setempat yang berkunjung ke Air Terjun Lantambaga selalu merasa terhibur karena sambil berburu udang yang jumlahnya banyak. Udang akan datang berkerumun dari sela-sela bebatuan hanya dengan menghamburkan bekal makanan. Namun itu dulu.

Kini, udang-udang itu sudah sulit didapat sebab banyak yang menangkap udang dengan menggunakan racun kimia.  Penggunaan racun membuat populasi udang  menurun drastis dan nyaris punah.

Berburu Buah Cempedak

Tenang saja, meski udang berwarna tembaga sudah sulit didapat, masih ada buah enak yang juga  berwarna kuning tembaga. Buah itu adalah cempedak, masyarakat setempat menamakannya ‘dai’.  Buah ini masih banyak tumbuh liar, terdapat di hutan sekitar air terjun itu. Akan sangat seru, makan buah cempedak hasil buruan di depan air terjun. 

Buah cempedak berlimpah, khususnya pada bulan Februari hingga April setiap tahunnya.  Wangi aroma buah cempedak ada di sepanjang jalan menuju Air Terjun Lantambaga. Bau buah cempedak yang mirip nangka itu memang demikian, kurang lebih seperti menusuknya bau durian.

Buah Cempedak. (Sumber foto: How to Open and eat Orange Chempedak)
Buah cempedak di Lantambaga ini memiliki biji yang kecil seperti kelereng, isinya tebal. Ukuranya agak lonjong namun tidak sebesar buah nangka. Rasanya mirip nangka, hanya lebih enak Cempedak dan lebih khas.

Cempedak ini tergolong buah langka karena  jenis buah ini sulit ditemukan di daerah lain wilayah Sulawesi Tenggara. Di Pulau Wawonii saja, hanya terdapat di kawasan hutan Wawonii Tengah, sekitar air terjun Lantambaga.

Penulis: Muhamad Taslim Dalma & Husain

Mengenal Warkop Haji Anto Kendari yang Dikunjungi Jokowi

Warung Kopi (Warkop) Haji Anto di Kendari.
JENDELASULTRA.BLOGSPOT.COM Warung Kopi (Warkop) Haji Anto adalah salah satu kedai kopi paling populer/terkenal di Kota Kendari dengan sajian minuman kopi khas. Menu andalannya adalah Kopi Susu, perpaduan antara kopi robusta dan susu kental manis. Selain itu, ada pula kopi hitam.

Kedai itu didirikan oleh seseorang bernama Anto, yang kemudian lebih dikenal dengan gelar haji-nya. Warkop Haji Anto mulai dikenal banyak orang sejak tahun 2007. Selain karena letaknya yang strategis di tengah Kota Kendari, juga memang hidangan kopinya yang enak.  Sejak saat itu terus berkembang, dan terakhir telah mendirikan cabang baru di Kota Kendari.

Kini Warkop Haji Anto ada dua yakni Kopi Haji Anto 1 yang beralamat di jalan Made Sabara, Kelurahan Korumba, Kecamatan Mandonga sedangkan Kopi Haji Anto 2 beralamat di jalan Buburanda, Kelurahan Lalolara, Kecamatan Kambu. Bangunan Warkop Haji Anto 2 itu sedikit lebih bagus.

Kedai kopi ini mulai buka dari pagi (sekitar pukul 07.00) hingga lewat tengah malam pukul 02.00 dini hari. Warkop ini selalu ramai dengan pegunjung dari berbagai kalangan, mulai dari anak muda, pengusaha/kontraktor, politisi, hingga pejabat.

Saking terkenalnya, bahkan Warkop Haji Anto jadi tempat berkunjung pejabat tinggi dari Jakarta yang ke Kendari. Terbaru adalah Presiden Joko Widodo (Jokowi) datang di Warkop Haji Anto 2 pada Jumat (1/3/2019) malam, sebagai bagian dari agendanya di Sulawesi Tenggara (Sultra). 

Tampilan bangunan Warkop Haji Anto tidak berbeda jauh dengan kedai-kedai kopi lainnya di Kota Kendari. Di Warkop Haji Anto 1: berlantai 1, menonjol warna merah tampak dari warna cat dindingnya, dan memiliki halaman parkir yang cukup luas.

Warkop Haji Anto 2: ada lantai dua sebagai tempat pertemuan, lantai bawah cukup luas, halaman parkirnya lebih luas lagi, dan tepat berada di samping Sungai Wanggu.  Kedai yang masih baru ini berhadapan langsung dengan Teluk Kendari dan jalan masuk Masjid Al Alam. Lokasinya sangat cocok untuk bersantai dengan adanya tiupan angin laut.

Salah satu yang paling membedakan Warkop Haji Anto dengan kedai kopi lainnya adalah slogan  yang berbunyi “mau jadi gubernur, walikota, bupati, anggota DPR minum kopi Haji Anto”. Di dinding-dinding kedai tampak terpampang foto berbingkai berisi pemilik/perintis Haji Anto bersama sejumlah pejabat. 

Mungkin memang, slogan demikian ada yang terbukti. Sebab di Warkop Haji Anto segala pembicaraan dilakukan. Diskusi-diskusi pemenangan politik hingga saling mengakrabkan diri sebagai sesama penyuka kopi sudah menjadi hal yang tak terpisahkan antara warung kopi dan politik. Kadang isu-isu sentral justru berasal dari obrolan warung kopi.

Informasi yang dihimpun, bahan kopi yang ada di Warkop Haji Anto berasal dari Makassar, Sulawesi Selatan. Kopi robusta sengaja didatangkan dari luar karena rasanya yang khas. Kopi itu dikenal juga sebagai “kopi setia”, yang mungkin maknanya selalu setia menemani saat lagi mengobrol dengan teman-teman.

Para penikmat kopi di Kendari, bila tidak datang di Warkop Haji Anto maka biasanya memesan untuk diantarkan lewat jasa kurir. Kedai itu menyediakan kemasan khusus sehingga di kantor dan di rumah pun, kopi susu Haji Anto tetap dapat dinikmati.

Penulis: Muhamad Taslim Dalma

Telaga Biru dan Telaga Bening di Muna, Ada Sarang Penyu

JENDELASULTRA.BLOGSPOT.COM – Lokasi wisata di Pulau Muna yang keren untuk dikunjungi adalah Telaga Biru dan Telaga Bening. Telaga Biru dikenal dengan nama “Permandian Moko” berada di Kampung Walengkabola sedangkan Telaga Bening yang dikenal dengan nama “Permandian Mata Air Wakumoro” terletak di Kampung Wakumoro.

Destinasi wisata yang masuk dalam wilayah Kabupaten Muna itu menyajikan keistimewaan khusus, bukan hanya menawarkan suasana hening dan jernihnya air yang berasal dari mata air bebatuan. Kedua telaga itu memiliki luas yang hampir sama, Telaga Biru seluas lapangan bola sedangkan Telaga Bening dua kali lebih luas.

* Telaga Biru

Masyarakat setempat mengenal telaga ini dengan sebutan “Moko”, biasa digunakan sebagai tempat rekreasi. Pengunjung datang untuk mandi dan berenang. Hanya saja dari tepian telaga ini agak curam dan terjal, semua bebatuan. Ketinggian permukaan air dan tepian atas sekitar 5 sampai 6 meter.

Bentuknya melingkar, seolah air tertampung dalam kolam itu, tidak mengalir. Dasar kolam terlihat dengan jelas. Airnya yang selalu jernih, dipastikan ada aliran air di bawahnya, mengalir di sela-sela bebatuan. Airnya cukup payau, mungkin karena tidak jauh dari telaga itu ada pantai Walengkabola.
Permandian Moko di Walengkabola, Muna.
Daerah Walengkabola memang terkenal sebagai daerah bebatuan yang memiliki banyak kolam. Mata air berasal dari goa-goa kecil lalu membentuk genangan air, ada yang besar ada pula yang kecil. Mata air di beberapa gua dijadikan sumber air bersih warga setempat.

Beberapa pohon tinggi tumbuh di tepian tepat di tepian telaga. Pohon-pohon ini biasa dipanjat para pengunjung yang mahir terjun bebas. Mereka memanjat pohon lalu terjun ke air yang tampak kebiruan. Airnya dengan kedalaman sekitar 10 meter lebih membuat aman untuk dilakukan terjun bebas dari ketinggian pohon.

Yang unik, di Telaga Biru itu adalah adanya dua ekor penyu. Besarnya serupa ukuran tubuh orang dewasa. Penyu itu berenang-renang dan menyelam di telaga itu. Telaga Biru itu merupakan sarang bagi kedua penyu itu, seolah tak ada tempat keluar karena dinding-dinding bebatuan yang mengelilingi telaga.


Entah dari mana datangnya penyu itu, yang jelas sudah lama berada di tempat itu. Tak jarang penyu itu akan mendekati pengunjung yang sedang berenang. Saking jinaknya, badannya bisa dipegang untuk berenang bersama. Dua ekor penyu ini kadang menampakkan diri kadang juga tidak.

Ikan-ikan seukuran sendal jepit beragam jenis juga tampak terlihat di Telaga Biru ini. Hal ini makin menambah keindahan Telaga Biru. Bayangkan berada di suatu spot wisata, bisa memanjat pohon untuk terjun, dari atas pohon itu tersaji kolam jernih-biru dengan ikan dan penyu berenang-renang, lalu terjunlah dengan gaya bebas.

*Telaga Bening

Telaga besar ini berbeda dengan Telaga Bening “Moko”, dari warna maupun alirannya. Telaga Bening itu dikenal sebagai “Permandian Mata Air Wakumoro”. Airnya bening dan tawar, dengan tepian batuan dan tanah.

Di tepian tumbuh pohon-pohon tinggi besar menjulang, sehingga selalu tampak gelap. Banyaknya pohon di sekitar telaga itu menambah eksotisme destinasi wisata yang satu ini. Sangat tepat untuk menenangkan pikiran dan berenang-menyelam.

Di balik kesunyian itu ada suara nyanyian serangga tonggoret yang tak berhenti saling berbalas bunyi dengan sesamanya. Tenggoret yang dikenal masyarakat setempat dengan sebutan “runge-runge” ini berbunyi sepanjang waktu tanpa henti, mungkin karena saking banyaknya. 

Kedalaman Telaga Bening ini bervariasi dari 3 meter hingga 10 meter. Ada pula tepian yang dangkal (tapi tidak luas), biasanya jadi tempat anak-anak kecil bermain air. Airnya tidak payau seperti Telaga Biru, sangat jernih dan bening.

Air di Permandian Wakumoro ini mengalir ke kali yang membelah kampung setempat. Di ujung aliran air ada bendungan. Bendungan itulah yang menjaga Telaga Wakumoro tetap penuh dengan air. Bila pintu penahan bendungan itu dibuka, air di Telaga Wakumoro bisa berkurang bahkan mendangkal.

Di lokasi wisata itu ada papan terjun bebas. Tempat terjun itu dibuat khusus seperti di papan terjun di kolam-kolam pada umumnya. Hanya sayangnya, pada awal akhir Februari 2019 ini papan terjun itu tampak rusak tertimpa pohon yang rebah.


Penulis: Muhamad Taslim Dalma

Begini Pelaksanaan Acara Haroa Berlangsung

JENDELASULTRA.BLOGSPOT.COM – Tata pelaksanaan acara haroa bukanlah sekedar kumpul-kumpul biasa. Ada doa-doa islami di dalamnya. Ada kebersamaan keluarga. Sebagai sebuah tradisi, haroa adalah kekayaan budaya.

Di daerah Muna dan Buton, bila waktunya tiba, haroa akan digelar di rumah masing-masing. Begitu pula di daerah rantau, orang-orang Muna dan Buton tak jarang masih ditemukan yang merawat tradisi itu dengan baik.

Tradisi haroa umumnya digelar oleh orang yang telah berkeluarga. Kalaupun bagi pemuda-pemudi lajang maupun anak-anak yang tinggal sendiri maka menghadiri acara haroa dengan  mengunjungi kerabat.  Karena hal itulah maka haroa juga dianggap sebagai sarana silaturrahim antar kerabat atau sanak keluarga.
Tradisi haroa
Saat haroa dimulai, di samping nampan haroa diletakkan segelas air minum, dan wadah pembakaran dupa.  Sajian haroa berupa lapa-lapa, kue cucur, kue waje, sirikaya, ayam parende, pisang goreng, dan telur rebus ditata rapi di atas nampan. Lalu ditutup tudung saji.

Segenap anggota keluarga lalu datang berkumpul di ruang acara haroa. Semua peserta haroa membentuk lingkaran, di tengahnya ada nampan sajian makanan. Lazimnya haroa dipimpin oleh pemuka agama kampung yang disebut ‘imam’, ada pula penyebutan ‘modji’ .

Selama kurang lebih setengah jam, peserta haroa dengan tenang menantikan bacaan doa si imam selesai. Dalam salah satu tahapan, imam membaca doa sambil membakar dupa. Serbuk dupa itu mendesis setiap kali mengenai bara api hingga asap putihnya mengepul.

Usai pembakaran dupa oleh imam, wadah dupa itu dikelilingkan, untuk masing-masing peserta mengusapkan  asapnya yang masih menebal ke bagian wajah. Lalu wadah dupa itu dipinggirkan.

Rangkaian pembacaan doa selesai ketika imam menengadahkan tangan dengan memberi aba-aba “amin” lalu diiukuti peserta. Posisi ini mirip posisi berdoa usai ibadah shalat, yang mana imam shalat menengadahkan tangan lalu diikuti makmum.
Sajian makanan dalam acara haroa
 Acara haroa berakhir dengan saling jabat tangan (salaman). Imam menyalami masing-masing peserta lalu sesama peserta saling bersalaman. Suami bersalaman dengan istri, lalu ke anak-anak mereka.  

Acara haroa ditutup  dengan makan sajian haroa bersama. Semua menu haroa dimakan bersama.  Bila sajian kurang maka cadangan persediaan dikeluarkan sampai benar-benar habis. Pun bila imam hendak membawa pulang sajian, maka dibungkuskan. Biasanya telur dan lapa-lapa.***

Penulis: Muhamad Taslim Dalma

Cerita Rakyat Muna: Kenta Wandiudiu, Seorang Ibu yang Menjadi Ikan

JENDELASULTRA.BLOGSPOT.COM – Dalam penelitian penulis berjudul “Mitos dalam Cerita Rakyat Muna” pada tahun 2018, salah satu cerita rakyat yang ditemukan adalah “Kenta Wandiudiu” yakni tentang seorang ibu yang loncat ke laut dan berubah menjadi ikan. Cerita ini dituturkan oleh salah seorang masyarakat di Kecamatan Tongkuno, Kabupaten Muna.

Cerita rakyat Kenta Wandiudiu yang dituturkan dalam masyarakat Muna mirip cerita Putri Duyung (sepotong ikan sepotong manusia) yang juga menjadi cerita rakyat maupun dongeng di daerah lain, bedanya dalam cerita Rakyat Muna diceritakan manusia berubah secara perlahan dan pada akhirnya menjadi ikan secara utuh.

Baca juga: Cerita Rakyat Muna: Pasangan Kawin Lari Berubah Jadi Buaya (Bagian-1)

Cerita tentang Kenta Wandiudiu juga ada dalam masyarakat Buton, tentu dengan versi masing-masing. Kendari demikian, antara cerita Kenta Wandiudiu yang ada di Buton dan di Muna memiliki sejumlah kemiripan, misalnya alur ceritanya dan nama tokoh-tokohnya. 

Cerita rakyat di Muna cukup sulit ditemukan. Kalaupun ada cerita rakyat, masyarakat sudah tidak mampu menceritakannya secara lengkap. Cerita rakyat hanya dapat diceritakan sebagian-sebagian. Butuh kerja lebih untuk mendapatkan narasumber yang dapat bercerita secara utuh.

Sejumlah data yang ditemukan cerita rakyat di Muna mampu dilafalkan dengan baik oleh kalangan generasi tua. Isi ceritanya tentang kisah-kisah berbalut mitos yang terjadi di masa lalu. Sumber ceritanya anonim, atau tidak ditahu siapa yang membuat cerita itu. Cerita diturunkan dari generasi ke generasi melalui tradisi lisan.
Berikut kisahnya: 

Pada zaman dahulu kala ada manusia yang menjadi ikan, namanya Wandiudiu. Pada mulanya Wandiudiu ini tinggal dengan suaminya, mereka tinggal tidak jauh dari laut. Anak mereka ada dua orang, yang kakak bernama Wanturuoleo dan sang adik Lambotabota. Wanturuoleo sudah agak besar karena sudah bisa menggendong Labhotabhota yang masih kecil. Namun demikian, dalam keluarga itu, sang suami berlaku keras dengan sering memukul istrinya, Wandiudiu. Karena sudah tidak tahan lagi dan sakit hati, Wandiudiu memilih meninggalkan rumah, ia langsung pergi loncat ke laut. Namun ia tidak mati dan terus mengapung di permukaan air. Lama kelamaan sisik ikan melekat di tubuh Wandiudiu, hingga iapun berisisik sama seperti ikan. Ia berubah menjadi sepotong ikan sepotong manusia, mulai berekor di bagian bawahnya. Ia juga sudah tidak makan nasi, tapi makan ikan mentah seperti kehidupan ikan laut lainnya.

Lambhota-bhota yang masih kecil dijaga dan diarawat oleh Wanturuoleo, mereka tinggal dengan bapaknya. Suatu ketika Wanturuoleo sambil menggendong Lambhota-bhota pergi memanggil Wandiudiu di pinggir pantai. “Ibu, Wandiudiu ayo datang menyusui Lambhota-bhota, ini saya Wanturuoleo,” panggil Wanturuoleo. Datanglah Wandiudiu dengan suasana awan menggelayut, diambilnya Lambhota-bhota lalu disusui. Sesudah menyusui, ia menjanji “kira-kira kapan lagi itu, sama seperti yang sekarang jam-jam seperti ini, bawa lagi di sini adikmu saya susui,” ucap Wandiudiu. Setelah itu, Wandiudiu pergi kembali ke laut dan Wanturuoleo dengan Lambhota-bhota kembali ke rumahnya.  Usai kejadian itu, Wanturuoleo dan adiknya lebih sering datang bertemu tetapi tanpa sepengetahuan ayah mereka. Setiap kali datang Wandiudiu selalu berhati-hati agar jangan sampai ditangkap oleh suaminya, dipeluk, atau diapa-apakan. Selalu ia menyusui anaknya di pinggir pantai, tepat garis pantai dan laut. Awal menyusui, Wandiudiu masih bisa naik ke daratan namun lama kelamaan ia sudah tidak bisa lagi, ia hanya bisa sampai diujung tepi air laut. Karena kondisinya sudah seperti itu, Wanturuoleo bantu saling pegang dengan Wandiudiu untuk menyusui Lambhotabhota.

Setelah sekian lama, Wandiudiu sudah penuh dengan sisik ikan bahkan sudah sampai di payudaranya sehingga sudah tidak bisa lagi menyusui. Meskipun dipanggil, ia sudah tidak datang lagi. Karena demikian maka Wanturuoleo dan Lambhota-bhota sudah tidak datang lagi, dan sudah tidak mempedulikan lagi. Wandiudiu juga pergi semakin jauh ke laut yang lebih besar. (***)

Penulis: Muhamad Taslim Dalma

Makna Haroa Muna-Buton dan Alasan Ada Bakar Dupa dalam Prosesinya

TRADISI HAROA – Seorang modji dalam proses tradisi haroa. Di depan modji itu ada sajian makanan dan ada wadah pembakaran dupa yang tengah menyala. 
JENDELASULTRA.BLOGSPOT.COM – Tradisi “Haroa” merupakan salah satu budaya tertua pada masyakat Muna dan Buton yang masih dipertahankan eksistensinya. Haroa biasa juga disebut “baca-baca”, yah karena memang ada doa-doa yang dibacakan dalam acara itu.

“Hayya, olang Muna hali-hali haloa, bagaimana mau kaya,” ungkapan dengan dialek khas itu adalah sebuah sindiran terhadap tradisi haroa. Bukan soal haroa-nya tapi biayanya yang memang tak sedikit. Perlu biaya ekstra untuk mempersiapkan bahan-bahan menu makanan dalam acara haroa.

Sajian menu makanan dalam haroa bukanlah seperti makanan sehari-hari, pantas bila cukup makal. Dalam acara haroa, ada menu khusus yang hanya ditemukan saat haroa seperti lapa-lapa, waje, cucur, srikaya, dan ayam parende, dan jenis makanan khas lainnya. Pembuatan menu makanan itu pun seharian bagi ibu rumah tangga, tentu bergotong royong dengan suami dan anak-anaknya.

Asal usul kata “haroa” dapat ditelusuri lewat bahasa daerah Muna.  Haroa berasal kata “haro” yang artinya ‘sapu’ atau ‘membersihkan’. Dapat dijabarkan, pengertian haroa adalah proses membersihkan dosa-dosa manusia.

Dalam prosesi haroa, doa-doa dipanjatkan oleh imam atau modji (yang memimpin jalannya haroa) untuk memohon ampunan dosa, meminta keselamatan, kemudahan rezeki,tolak bala dan permintaan-permintaan lainnya kepada Tuhan.
Sajian makanan dalam tradisi haroa, terdapat sejumlah makanan khas tradisional masyarakat Muna seperti cucur, waje, lapa-lapa, sirikaya, dan lainnya.
Tak hanya itu, leluhur yang telah meninggal dunia pun turut didoakan agar diampuni segala dosa-dosanya. Biasanya mendekati akhir proses haroa, nama-nama leluhur maupun keluarga yang telah wafat disebut namanya satu persatu untuk dimohonkan pengampunan.

Haroa rutin dilaksanakan ketika memasuki bulan ramadhan. Ada pula haroa yang diadakan saat acara adat lainnya, misalnya sunatan, karia, katoba, kangkilo, dan masih banyak lagi. Secara umum, pelaksanaan haroa lekat dengan tradisi-tradisi bernuansa agama Islam. Makanya dalam doa-doa yang dibacakan adalah ayat-ayat kitab suci Al-Qur’an.

Tentang bakar dupa dalam proses haroa, alasannya tidak lain hanya dimaksudkan untuk mengharumkan maupun memberi suasan khusyu dalam suasana pembacaan doa. Bakar dupa tidak ada kaitannya dengan keyakinan-keyakinan agama lain selain Islam, serta tidak ada hubungannya dengan mahluk halus atau bentuk kesyirikan lainnya.

Bahan dupa yang dibakar biasanya dari gula pasir, kulit langsat yang dikeringkan, dan ada pula dari lilin sarang lebah. Bahan dupa itu dalam bentuk serbuk dan hanya digunakan salah satunya.  Masing-masing jenis dupa menimbulkan bau berbeda-beda ketika dibakar.

Bahan dupa dibakar oleh Modji sedikit demi sedikit seraya melafalkan doa-doa. Serbuk dupa itu dibakar dalam sebuah wadah sebesar mangkuk sabun colek. Wadah itu biasanya terbuat dari tanah liat.***

Penulis: Muhamad Taslim Dalma

Seni Kabhaleko di Muna, Mengawetkan Cadangan Makanan Hingga Puluhan Tahun

KEBUN JAGUNG -Seorang kakek pekebun jagung sedang membersihkan rumput yang mengganggu tanaman jagung di kebun miliknya, tepatnya di Kecamatan Tongkuno, Muna pada awal 2018 lalu. (Foto: Dok. Penulis)
JENDELASULTRA.BLOGSPOT.COM – Masyarakat Muna, Sulawesi Tenggara (Sultra) hingga dikenal sebagai pekebun jagung. Bahkan pada zaman dahulu, jagung merupakan makanan pokok. Jagung jadi tanaman andalan yang bisa menghindarkan dari ancaman kelaparan. 

Pada masa penjajahan maupun setelah memasuki orde lama dan orde baru, bahan makanan masih terbatas. Pada masa-masa itu, kebun  jadi andalan untuk menghasilkan bahan makanan, sekaligus menjadi simbol kemandirian. Mandiri karena mereka bisa bertahan hidup hanya dari hasil kebun dan bertukar hasil kebun, di samping berburu dan melaut. 

Namun demikian, tanaman seperti jagung ditanam hanya berdasarkan musim yang terbaca dari datangnya hujan. Sehingga perlu ditaktisi bagaimana caranya agar bahan makanan awet disimpan dalam jangka waktu puluhan tahun. 

Orang Muna menemukan cara untuk menyimpan cadangan makanan agar tetap awet dan dapat dimakan. Cadangan makanan yang dapat disimpan lama adalah jagung dan kabuto (ubi kayu yang dikeringkan).

Untuk menyimpan jagung itu, mereka memiliki cara khusus, dapat disebut seni menyimpan jagung bernama ‘kabhaleko’. Tata cara membuat kabhaleko pun harus hati-hati, dibuat sedemikian rupa agar rayap, kutu, tikus, dan hama lainnya tidak dapat menghancurkan isi jagung. 

Sedikit kesalahan dalam penyusunan jagung dengan metode kabhaleko, kutu yang dinamakan ‘bubu’ akan mengancurkan berton-ton jagung hanya dalam sekali serang. Olehnya orang Muna, mengembangkan tata kabhaleko yang tepat. Seni menyimpan cadangan makanan itu berlanjut dari generasi ke generasi. 

Selain kabhaleko ada pula yang disebut kapanto untuk penyimpanan jangka pendek. Pada masa sekarang ini yang biasa dilakukan masyarakat hanya kapanto sedangkan kabhaleko sudah hampir tidak ditemukan lagi. Sebab tidak lama usai panen jagung, masyarakat langsung menjualnya untuk keperluan lain, misalnya membeli beras.
PENYIMPANAN JAGUNG - Kapanto merupakan penyusunan jagung secara veritikal dalam sebuah petak persegi (biasanya 2x2 meter atau lebih) di dalam pondok kebun. Penyimpanan jagung dengan metode ini hanya untuk sementara. (Foto: Dok. Penulis)
Kapanto merupakan penyusunan jagung dalam sebuah petak persegi (biasanya 2x2 meter atau lebih) di dalam pondok kebun atau rumah. Buah jagung  yang belum dikupas kulitnya disusun secara vertikal (tegak lurus) hingga penuh dalam satu petak penyimpanan. Petak penyimpanan biasanya dari batangan kayu.  

Sementara kabhaleko, adalah penyimpanan jagung dalam sebuah petak. Petak kayunya sama seperti kapanto, bahkan bisa lebih luas karena jagung yang disimpan lebih banyak. Karena memang untuk jangka waktu yang lama maka petaknya ada di atas loteng rumah. Dalam petak itu, buah jagung yang belum dikupas kulitnya, disusun miring mengikuti kemiringan atap. 

Di bawah loteng  ada tungku batu pembakaran atau dapur tempat memasak. Asap dari pembakaran kayu itu yang akan selalu masuk ke loteng. Walhasil Jagung dalam kabhaleko kebal dari serangan rayap, kutu, tikus dan hama lainnya. Sebab, suhunya yang selalu hangat, tepat berada di bawah atap rumah dan selalu penuh asap. Selain itu, susunannya yang rapi dan kuat membikin tikus hanya dapat memakan yang ada di bagian lapis terluar kabhaleko.

Dengan metode penyimpanan kabhaleko yang demikian itu, jagung dijamin dapat bertahan puluhan tahun. Jagung dalam kabhaleko itulah yang pada zaman dahulu membentengi para masyarakat dari ancaman kelaparan, dan terbantu bila terjadi anomali cuaca yang menyebabkan gagal panen.

Jagung yang disimpan lama tidak bisa lagi jadi bibit. Makin lama disimpan makin keras dan semakin  kebal pula terhadap serangan rayap. Jagung yang disimpan puluhan tahun, warna bijinya akan tampak merah.

Jagung yang sudah tahunan disimpan biasanya dimasak jadi kambuse (kuliner khas Muna). Hanya saja kalau jagung belasan tahun ada dalam kabhaleko, memasaknya bisa sampai setengah hari, beda dengan jagung yang belum lama disimpan dapat dimasak kambuse  hanya dalam waktu dua jam.

Agar isi kabhaleko tak habis-habis, buah jagung diambil sedikit-sedikit untuk dimasak, dengan hitungan sekali makan. Kemudian, Kabhaleko terus diisi setiap kali musim panen telah tiba. Dengan metode keluar-masuk itu, kabhaleko selalu penuh dengan buah jagung, sebagai cadangan makanan.***


Penulis: Muhamad Taslim Dalma  

Air Terjun Wawondiku Konawe Utara, Mengalir dari Puncak Sarang Anoa (Part 2)

JENDELASULTRA.BLOGSPOT.COM - Keadaan sekitar Air Terjun Wawondiku  tampak begitu asri,  bersih, kentara jarang terjamah. Pohon-pohon masih berdiri tegak menjulang tinggi, hanya memang puncak air terjun itu lebih tinggi dibanding pepohonan di situ.

Selain tentang anoa dan keindahannya, juga ada hal mistik. Dalam kawasan hutan itu diyakini ada “Onitumeane”. “Onitu” artinya ‘hantu’ atau ‘setan’ sedangkan “meane” artinya ‘bermain’. Jadi, Onitumeane adalah hantu yang bermain. 

Masyarakat setempat mempercayai adanya Onitumeane yang biasanya mengganggu dengan menggoyangkan pohon. 
Air Terjun Wawondiku di Kawasan Hutan Konawe Utara. (Foto: Mardin for jendelasultra.blogspot.com)

Perjalanan ke Air Terjun
Bagi pengunjung luar, titik start dapat dimulai dari Kota Kendari, Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tenggara. Perjalanan dilakukan dengan sepeda motor menuju arah Kabupaten Konawe Utara. Paling cepat dapat ditempuh dalam waktu 7 jam perjalanan.

Untuk akses cepat perjalanan, begitu meninggalkan Kota Kendari langsung menuju Konawe Utara, tepatnya Kecamatan Kapoiala. Di daerah itu  melintasi sungai sehingga harus naik pincara. Sekitar 5 menit menyebrangi sungai, perjalanan kembali dilanjutkan dengan kendaraan yang dibawa serta.

Perjalanan dilanjutkan menuju Desa Lambuluo, Kecamatan Motui. Di sini juga harus naik pincara sekitar 15 menit. Perjalanan dilanjutkan menuju SMP 1 Molawe. Begitu sampai di sekolah ini, perjalanan dengan sepeda motor masih dilanjutkan dengan rute tanjakan dan sedikit menurun, sejauh 1 kilo meter. 

Begitu sampai di samping kebun cengkeh, motor harus disimpan. Perjalan dilanjutkan dengan berjalan kaki. Rutenya mendatar, melewati hutan, kebun mangga, kebun cengkeh, dan padang rumput yang tak begitu luas, lalu masuk hutan lagi. Perjalanan tanpa kendaraan itu selama kurang lebih satu jam.

Di perjalanan ada banyak lintah dari seukuran lidi sampai seukuran batang pensil. Tak jarang juga melewati banyak aliran air bertingkat di bebatuan. Di aliran air itu tidak tampak ikan, yang ada hanya keong kecil bundar hitam, masyarakat lokal menyebutnya “boyku”. Boyku biasa jadi menu santapan khas yang sedap.
Air Terjun Wawondiku di Kawasan Hutan Konawe Utara. (Foto: Mardin for jendelasultra.blogspot.com)

Jalan menuju air terjun, adalah hutan belantara yang sepertinya belum tersentuh proyek-proyek pemerintah. Arah jalan pun hanya mengandalkan bekas-bekas jejak kaki. Pengunjung biasanya diantar oleh warga setempat. Jalur masuknya juga biasa digunakan masyarakat yang masuk menebang kayu, sehingga ada pondokan-pondokan para penebang kayu yang bisa digunakan untuk istirahat.

Sepanjang jalan masuk, tidak ditemukan pengumanan apakah hutan itu masuk dalam kawasan yang dilindungi. Di dalamnya ada berbagai jenis pohon dengan diameter yang cukup besar, ada yang butuh rentangan tangan dua orang dewasa untuk melingkari batangnya.   

Perjalanan panjang itu, terbayar lunas dengan sajian pemandangan alam Air Terjun Wawondiku, plus kesejukan yang menyertai. Sebagai catatan, jangan lupa bawa bekal, di dalam tak ada makanan.***

Baca Artikel Sebelumnya : Air Terjun Wawondiku Konawe Utara, Mengalir dari Puncak Sarang Anoa (Part 1)

Penulis: Muhamad Taslim Dalma